Minggu, 17 Agustus 2014

STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DI KABUPATEN SERANG



OLEH : DR. H. RACHMAT MAULANA, S.SOS, M.SI
I.              LATAR BELAKANG

1.    Perubahan Paradigma Pembangunan

Pembangunan merupakan proses perubahan menuju peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Seberapa jauh proses pernbangunan tersebut telah mampu menghasilkan perubahan-perubahan yang membawa dampak pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, diukur dengan inidikator-indikator yang umumnya bersifat ekonomi. Ukuran ekonomi cukup bervariasi, mulai dari penekanan pada “pertumbuhan" sampai yang memperhitungkan "pemerataan". Paradigma pertumbuhan ekonomi dengan asumsi bahwa melalui pembangunan pusat = pusat pertumbuhan ekonomi, akan terjadi proses perembesan ke bawah (trickle down effect) pada kawasan sekitarnya, yang diindikasikan oleh lebarnya perbedaan tingkat pendapatan di antara kelompok masyarakat yang mendiami dua kawasan yang berbeda.
Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, maka Iahirlah paradigma pemerataan pembangunan, dengan asumsi bahwa pemerataan pelaksanaan program pembangunan pada semua wilayah akan tercipta pula pemerataan hasil pembangunan, serta mendistribusi kembali hasil-hasil pembangunan dari kawasan pusat pertumbuhan untuk kawasan terbelakang, agar tercipta pemerataan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan oleh seluruh lapisan masyarakat. Pergeseran paradigma ini terlihat dari Pelita I dan II yang menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai Trilogi pertama pembangunan, sedang pada pelita III bergeser menjadi pemerataan pembangunan sebagai Trilogi pertama. Ternyata pemerataan pembangunan kurang mewujudkan percepatan pemerataan hasil-hasil pembangunan, yang diindikasikan oleh kemiskinan, kemelaratan, kekumuhan dan ketidak berdayaan dalam menghadapi berbagai tekanan. Hal ini terlihat pada sebagaian besar lapisan masyarakat terutama yang hidup dalam kawasan pedesaan yang terisolasi dan terpencil. Rendahnya tingkat perubahan kondisi kehidupan masyarakat melalui kebijakan pemerataan, melahirkan paradigma pernbangunan yang berpusat pada manusia. Implementasinya tercermin pada program-program yang secara langsung ditujukan kepada masyarakat lapisan bawah, seperti pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan) maupun program penanggulangan kemiskinan. Kebijakan paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia, implementasinya cukup berhasil, walaupun dalam proses yang lambat akibat masih adanya intervensi dan dominasi kekuasaan pemerintah dalam menetapkan prioritas program yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat. Menguatnya dominasi kekuasaan pemerintah dalam pengelolaan pembangunan, melahirkan paradigma baru pembangunan yakni paradigama pemberdayaan masyarakat. Asumsinya adalah bahwa dipandang perlu mengurangi dominasi kekuasaan pemerintah yang sangat luar biasa dalam berhadapan dengan ketidakberdayaan masyarakat, melalui pengelolaan pembangunan kepada masyarakat, karena kekuasaan pemerintah pada hakekatnya berasal dari kedaulatan rakyat.

2.    Pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat

Daya merupakan kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak, sedangkan berdaya berarti berkekuatan, bertenaga, berkemampuan memiliki akal/cara untuk mengatasi sesuatu. Pemberdayaan masyarakat dapat diartikan suatu usaha untuk memberikan kekuatan, tenaga, kemampuan, mempunyai akal/cara untuk mengatasi masalah dalam kehidupan masyarakat.
Dalam literatur, pemberdayaan masyarakat dikonsepkan dalam dua makna pokok, yakni : (1) meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pelaksanaan berbagai kebijakan kemampuan yang diharapkan dan (2) meningkatkan kemandirian masyarakat melalui pemberian wewenang secara proporsional kepada masyarakat dalam pengambilan keputusan untuk membangun diri dan lingkungannya secara mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat berarti memampukan dan memandirikan masyarakat. Implementasi konsepsi pemberdayaan masyarakat dalam kebijakan pembangunan nasional, harus terwujud dalam 3 (tiga) aspek kebijakan utama, yakni : (1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi atau daya yang dimiliki masyarakat, baik potensi sumber daya alam maupun potensi sistem nilai tradisional sebagai kearifan lokal yang telah membudaya dalam menata kehidupan masyarakat (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat, baik potensi lokal yang telah membudaya dalam menata kehidupan masyarakat melalui pemberian masukan atau input berupa bantuan dana, pembangunan prasarana dan sarana, baik fisik (jalan, irigasi, listrik) maupun sosial (pendidikan, kesehatan) serta pengembangan lembaga pendanaan, penelitian dan pemasaraan di daerah, dan (3) melindungi melalui pemihakan kepada masyarakat yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang, dan bukan berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi.

II.            KONSEPPEMBERDAYAAN


1.    Pengertian
Pemberdayaan adalah terjemahan dari empowerment. Menurut Merriam Webster dan Oxford English Dictionery, kata empower mengandung dua pengertian, yaitu (1) to give power atau authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain, (2) to give ability to atau enable atau usaha untuk memberi kemampuan.
Konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pernbangunan dan model industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai berikut : (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan penguasaan faktor produksi, (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja yang lemah dan masyarakat pemilik daktor produksi yang kuat, (3) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum, dan ideologi yang manipulatif untuk memperkuat dan legitimasi, (4) kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum, sistem politik, dan ideologi, secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tidak berdaya. Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai (empowerment of the powerless).

Fakta empirik dan pengalaman mengenai pemberdayaan. Pandangan pertama, pemberdayaan adalah penghancuran kekuasaan atau power to nobody. Pandangan ini didasari oleh keyakinan, bahwa kekuasaan telah menterasingkan dan menghancurkan manusia dari eksistensinya. Oleh sebab itu untuk mengembalikan eksistensi manusia dan menyelamatkan manusia dari keterasingan dan penindasan, maka kekuasaan harus dihapuskan. Pandangan kedua, pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan kepada setiap orang (power to everybody). Pandangan ini didasarkan pada keyakinan, bahwa kekuasaan yang terpusat akan menimbulkan abuse dan cenderung mengalienasi hak normatif manusia yang tidak berkuasa atau yang dikuasai. Oleh sebab itu, kekuasaan harus didistribusikan ke semua orang, agar semua orang dapat mengaktualisasikan diri. Pandangan ketiga, pemberdayaan adalah penguatan kepada yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat. Pandangan ini adalah antitesis dari pandangan yang paling moderat dari dua pandangan lainnya. Pandangan ini adalah antitesis dari pandangan power to nobody dan pandangan power to everybody. Menurut pandangan ini, Power to nobody adalah kemustahilan dan power to everybody adalah chaos dan anarki. Oleh sebab itu menurut pandangan ketiga, yang paling realitis adalah power to powerless.
Ketiga pandangan ini, kalu dikaji secara seksama, ternyata berpengaruh cukup signifikan dalam konsep dan praksis pemberdayaan. Di dalam praktik, paling tidak ada 3 konsep pemberdayaan. Konsep pertama, pemberdayaan yang hanya berkutat di daun dan ranting atau biasa disebut sebagai magical paradigma. Refleksi dari paradigma ini adalah, bahwa struktur sosial, struktur ekonomi, dan struktur politik yang ada sudah dianggap given, maka pemberdayaan masyarakat adalah merekayasa bagaimana masyarakat lemah dapat menyesuaikan dengan sistem ekonomi, sistem politik, dan sistem sosial budaya yang sudah given tersebut. Bentuk aksi dari konsep ini merubah sikap mental masyarakat tidak berdaya dan pernberian santunan. Konsep kedua, pemberdayaan yang hanya berkutat di batang atau biasa disebut sebagai naive paradigma. Refleksi dari paradigma ini adalah bahwa secara umum tatanan sosial, ekonomi, politik dan budaya, sudah benar, kalaupun ada kesalahan ada pada praktik di lapangan atau pada kebijakan operasional. Oleh sebab itu, pemberdayaan masyarakat mencakup dua dimensi, yaitu dimensi perbaikan kebijakan operasional (reformasi) dan dimensi rekayasa masyarakatnya. Dalam rangka rekayasa masyarakatnya, bentuk pilihan aksinya adalah affirmative action. Konsep ketiga, pemberdayaan yang hanya berkutat diakar atau biasa disebut sebagai critical paradigma. Refleksi dari paradigma ini adalah tidak berdayanya masyarakat disebabkan oleh struktur politik, ekonomi, dan sosial budaya, yang tidak memberi ruang bagi masyarakat lemah untuk berbagi kuasa dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. Maka bentuk aksi yang ditawarkan adalah.meninjau kembali sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya yang tidak memungkinkan masyarakat untuk berkembang tersebut. Singkat kata, konsep permberdayaan masyarakat yang hanya berkutat pada akar adalah penggulingan the powerfull. Kesalahpahaman mengenai pemberdayaan ini, maka menimbulkan pandangan yang salah, seperti bahwa pemberdayaan adalah proses penghancuran kekuasaan, proses penghancuran negara, dan proses penghancuran pemerintah (Pranarka dan Moelyarto, 1996).
Menurut Lenin (1963), pemberdayaan masyarakat adalah proses perjuangan kaum powerless untuk memperoleh surplus value sebagai hak normatifnya. Perjuangan memperoleh surplus value dilakukan melalui distribusi penguasaan faktor-faktor produksi. Dan perjuangan untuk mendistribusikan pengasaan faktor-faktor produksi harus dilakukan melalui perjuangan politik. Kalau Lenin, lingkup pemberdayaan adalah pemberdayaan masyarakat, maka menurut Friedman, pemberdayaan harus dimulai dari rumah tangga. Pemberdayaan rumah tangga adalah pemberdayaan yang mencakup aspek sosial, politik, dan psikologis. Yang dimaksud dengan pemberdayaan sosial adalah usaha bagaimana rumah tangga lemah memperoleh akses informasi, akses pengetahuan dan keterampilan, akses untuk berpartisipasi dalam organisasi sosial, dan akses ke sumber-sumber keuangan. Pemberdayaan politik adalah usaha bagainana rumah tangga yang lemah memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan publik yang mempengaruhi masa depan mereka. Sedang pemberdayaan psikologis adalah usaha bagaimana membangun kepercayaan diri rumah tangga yang lemah.
Selain Lenin dan Friedman, masih banyak pandangan mengenai pengertian pemberdayaan, seperti dari David C Korten (1986), Uner Kirdar clan Leonard Silk (1995), Gaustav Ranis (1995), Hulme clan Turner (1990), Robert Dahl (1963), Kassam (1989), Sen clan Grown (1987), clan Paul (1987), yang pada prinsipnya adalah bahwa pemberdayaan adalah penguatan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi masa depannya, penguatan masyarakat untuk dapat memperoleh faktor-faktor produksi, dan penguatan masyarakat untuk dapat menentukan pilihan masa depannya.

2.    Problem Pembangunan Perdesaan

Dalam rangka membangun perdesaan yang kuat, efisien, dan modern, ada 5 (lima) agenda permasalahan yang perlu di pecahkan. Kelima agenda permasalahan tersebut adalah : (1) belum optimalnya pemerintah dalam menyediakan barang publik dan jasa publik kepada masyarakat (seperti prasarana kesehatan, prasarana pendidikan, prasarana sosial budaya, keamanan, pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan), (2) rendahnya posisi tawar masyarakat dalam pasar input (tenaga kerja, modal, lahan), (3) belum berfungsinya pemerintah dalam mendorong terbangunnya pasar input dan pasar output yang efisien, (4) rendahnya daya beli masyarakat sebagai akibat rendahnya pendapatan masyarakat dan tingginya harga barang output akibat buruknya kelembagaan dan prasarana transportasi, (5) rendahnya akses bagi petani dan usaha kecil di perdesaan untuk memasuki pasar input, sebagai akibat buruknya kelembagaan dan prasarana transportasi, (6) terbatasnya kemampuan pemerintah desa dalam menyediakan prasarana untuk usaha ekonomi di perdesaan, dan (7) belum terbangunnya kerjasama yang saling menguntungkan antara usaha besar dan usaha kecil.
Agenda Pertama, adalah bagaimana pemerintah mampu menyediakan barang publik dan jasa publik kepada masyarakat, selama ini karena keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah desa, maka barang publik dan jasa publik yang seharusnya diterima oleh masyarakat belum dapat disediakan oleh pemerintah. Barang publik yang seharusnya disediakan oleh pemerintah adalah prasarana pendidikan, prasarana kesehatan, prasarana sosial, prasarana transportasi. Sedang jasa publik yang mestinya disediakan oleh pemerintah kepada masyarakat desa adalah jasa keamanan, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan.
Agenda kedua, adalah permasalahan seJauhmana masyarakat mampu menyediakan faktor produksi (lahan, tenaga kerja dan modal) pada dunia usaha, dan sejauhmana masyarakat memiliki posisi tawar yang kuat di pasar input. Pemberdayaan masyarakat dalam bidang ekonomi, bukan hanya bagaimana sektor usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah, tumbuh dan berkembang, tetapi juga bagaimana masyarakat mampu memasok kuat dalam pasar input lahan. Selama ini posisi masyarakat sebgaai penyedia faktor produksi seperti lahan, modal, dan tenaga kerja, sangat lemah. Terjadinya konflik lahan antara masyarakat dengan pengusaha di beberapa daerah, menunjukkan bahwa pasar input yang berupa lahan belum berjalan sebagaimana mestinya, dan masyarakat selalu berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Rendahnya kualitas tenaga kerja di satu sisi dan tidak seimbangnya antara pasokan dan kebutuhan tenaga kerja, menjadikan posisi masyarakat dalam pasar tenaga kerja juga tidak menguntungkan. Dengan demikian, kalau pemberdayaan masyarakat tidak menyentuh aspek-aspek ini, maka tidak akan memberikan hasil yang mermuaskan.
Agenda ketiga, mencakup dua permasalahan, yaitu permasalahan sejauhmana pemerintah telah melaksanakan fungsinya dalam memberikan pelayanan yang baik kepada sektor usaha dan bagaimana pemerintah telah melaksanakan fungsi pengaturan. Dalam hubungan dengan fungsi pengaturan peran pemerintah adalah meningkatkan efisiensi, menciptakan keadilan, menjaga stabilitas ekonomi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Kesenjangan ekonomi yang tinggi (antar daerah, antar golongan penduduk, antar desa dan kota, serta sektor), politik monopoli dan monopsoni, berbagai regulasi yang menimbulkan inefisiensi ekonomi, adalah bukti bahwa pemerintah belum dapat melaksanakan fungsi pengaturan itu secara baik. Itulah sebabnya rakyat mengamanahkan kepada pemerintah melalui GBHN tahun 2000 untuk mengoptimalkan peranan pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan pasar dengan menghilangkan seluruh hambatan yang mengganggu mekanisme pasar, melalui regulasi, layan publik, subsidi dan insentif, yang dilakukan secara transparan.

Agenda keempat, adalah randahnya daya beli masyarakat perdesaan terhadap barang dan jasa. Ada dua sebab mengapa daya beli masyarakat perdesaan rendah Pertama karena harga barang dan jasa di perdesaan cukup tinggi sebagai akibat biaya transport dan besarnya margin yang diperoleh oleh pedagang. Kedua karena pendapatan masyarakat yang rendah. Rendahnya pendapatan masyarakat karena upah tenaga kerja yang rendah.
Agenda Kelima, adalah bagaimana petani, pengrajin dan usaha rakyat diperdesaan mampu menembus pasar barang dan jasa. Selama ini problem yang dihadapi petani adalah sulitnya mereka dalam menembus pasar. Petani selalu dihadapkan dengan persoalan harga yang jatuh pada saat panen. Rendahnya harga pada saat panen, selain karena axcess demand juga dikarenakan jaringan pasar yang sangat panjang, sehingga margin terbesar dinikmati oleh pedagang, bukan produsen (petani).
Agenda keenam, adalah bagaimana usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah dapat memasuki pasar input dengan tanpa hambatan dan tanpa diskriminasi. Seperti diketahui, bahwa salah satu masalah yang dihadapi oleh usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah adalah dalam hal akses untuk memperoleh modal. Disatu sisi, lambannya akumulasi kapital dikalangan pengusaha mikro, kecil dan menengah, merupakan salah satu penyebab lambannya laju perkembangan usaha dan rendahnya surplus usaha disektor usaha mikro, kecil dan menengah. Faktor modal juga menjadi salah satu sebab tidak munculnya usaha-usaha baru diluar sektor ekstratif. Yang perlu dicermati dalam usaha pemberclayaan masyarakat dibidang ekonmi melalui aspek permodalan ini adalah : (1) bagaimana pemberian bantuan modal ini tidak menimbulkan ketergantungan masyarakat, (2) bagaimana pemecahan aspek modal ini dilakukan melalui penciptaan sistem yang kondusif baru usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah untuk mendapatkan akses di lembaga keuangan, (3) bagaimana skema penggunaan atau kebijakan pengalokasian modal ini tidak terjebak pada perekonomian subsisten. Tiga hal ini penting untuk dipecahkan bersama. Inti pemberdayaan adalah kemandirian masyarakat. Pemberian hibah modal kepada masyarakat, selain kurang mendidik masyarakat untuk bertanggungjawab kepada dirinya sendiri, juga akan dapat mendistorsi pasar uang. Oleh sebab itu, cara yang cukup elegan dalam memfasilitasi pemecahan masalah permodalan untuk usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah adalah dengan menjamin kredit mereka di lembaga keuangan yang ada, dan atau memberi subsidi bunga atas pinjaman mereka di lembaga keuangan. Cara ini selain mendidik mereka untuk bertanggungjawab terhadap pengembalian kredit, juga dapat menjadi wahana bagi mereka untuk terbiasa bekerjasama dengan lembaga keuangan yang ada, serta membuktikan kepada lembaga keuangan bahwa tidak ada alasan untuk diskriminatif dalam pemberian pinjaman.
Agenda ketujuh, adalah bagaimana pemerintah harus menyediakan prasarana pendukung bagi tumbuh dan berkembangnya usaha rakyat, seperti prasaana jalan, prasarana irigasi, prasarana pergudangan, dan prasarana pasar, untuk itu maka harus ada kejelasan, maka prasarana perdesaan yang menjadi tanggung jawab desa dan mana prasarana yang pembangunan dan pemeliharaannya menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten.
Agenda kedelapan, adalah bagaimana membangun hubungan kemitraan antara usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah dan usaha besar sebagai satu kesatuan ekonomi yang memungkinkan terbangunnya struktur usaha yang kokoh dan memiliki keterkaitan struktural yang kuat. Sebab pertumbuhan dan pemerataan akan dapat dicapai kalau ada sinergi antara usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar. Terbangunnya struktur usaha yang kuat, akan dapat meningkatkan efisiensi usaha, dan pada gilirannya ekonomi Indonesia akan dapat menghadapi persaingan global.
3.    Pemberdayaan Bidang Politilk dan Sosial Budaya
Sedang dalam pemberdayaan masyarakat dibidang politik dan sosial budaya paling tidak, ada 4 agenda, yaitu : (1) bagaimana masyarakat memiliki akses dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik, (2) bagaimana masyarakat memiliki akses dalam mengontrol pelaksanaan pembangunan, (3) bagaimana mengotimalkan peran pemerintah dalam melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat, dan (4) bagaimana merumuskan pembagian peran dan tanggungjawab antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pemerintah desa.
Agenda Pertama, yaitu bagaimana meningkatkan akses masyarakat dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik. Dengan politik masa mengambang selama ini, aspirasi masyarakat dalam bidang politik tidak tersalur sebagaimana mestinya, sehingga partisipasi masyarakat dalam poses pengambilan keputusan sangat rendah. Teraleniasinya masyarakat untuk belajar mengelola perbedaan atau konflik. Akibatnya, masyarakat mudah diadu domba dan rentan terhadap berbagai isu politik.
Agenda Kedua, yaitu bagaimana meningkatkan peran masyarakat dalam melaksanakan fungsi kontrol. Seperti diketahui bersama, bahwa hancurnya kelembagaan sosial kemasyarakat dan kelembagaan politik lokal, sebagai akibat kebijakan penyeragaman, telah menumpulkan peran masyarakat dalam melaksanakan kontrol sosial terhadap kekuasaaan. Abuse of power dan inefisiensi pengelolaan sumberdaya pembangunan selama ini, adalah dampak dari tidak berfungsinya masyarakat dalam mengontrol jalannya kekuasaan.
Agenda ketiga, mencakup dua permasalahan, yaitu permasalahan sejauhmana pemerintah telah melaksanakan fungsinya sebagai penyedia public service dan public goods kepada masyarakat, dan permasalahan sejauhmana masyarakat telah melaksanakan kewajibannya dalam membayar pajak. Selama ini harus diakui, bahwa pemerintah belum dapat memberikan public servce dan menyediakan public goods kepada masyarakat yang memadai. Banyaknya jumlah desa tertinggal, tingginya angka kematian bayi, sulitnya penduduk di pedalaman memasarkan hasil produksi dan memperoleh barang kebutuhan, disparitas harga barang sejenis yang begitu mencolok antara daerah satu dengan daerah lain, belum adanya jaminan sosial bagi fakir miskin, rendahnya mutu pelayanan pendidikan, adalah fakta empirik yang tidak dapat kita pungkiri. Masalahnya bukan saja penyediaan public good tetapi juga siste deliverynya Di sisi lain, memang pemerintah juga memiliki keterbatasan, yaitu anggaran. Tetapi anggaran ini sebenarnya akan dapat dipecahkan kalau pemerintah dapat melaksanakan fungsi pelayanan secara baik. Sebab dengan pelayanan yang baik dan pengelolaan yang transparan dan akuntabel, maka masyarakat akan melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak.
Agenda keempat, adalah bagaimana merumuskan dan menyepakati peran dan tanggungjawab antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa, dalam melaksanakan fungsinya secara benar dan baik. Tumpang tindih peran antara pemerintah desa, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat dalam melaksanakan fungsi dan peran, akan mengakibatkan pemborosan dan kontra produktif. Inefisiensi di sektor pemerintahan pada akhirnya akan mengimbas di sektor usaha atau private sector.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar