OLEH : DR. H. RACHMAT MAULANA, S.SOS, M.SI
I.
LATAR BELAKANG
1.
Perubahan
Paradigma Pembangunan
Pembangunan
merupakan proses perubahan menuju peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat. Seberapa jauh proses pernbangunan tersebut telah mampu menghasilkan
perubahan-perubahan yang membawa dampak pada peningkatan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat, diukur dengan inidikator-indikator yang umumnya
bersifat ekonomi. Ukuran ekonomi cukup bervariasi, mulai dari penekanan pada
“pertumbuhan" sampai yang memperhitungkan "pemerataan".
Paradigma pertumbuhan ekonomi dengan asumsi bahwa melalui pembangunan pusat =
pusat pertumbuhan ekonomi, akan terjadi proses perembesan ke bawah (trickle
down effect) pada kawasan sekitarnya, yang diindikasikan oleh lebarnya
perbedaan tingkat pendapatan di antara kelompok masyarakat yang mendiami dua
kawasan yang berbeda.
Untuk mengatasi
kesenjangan tersebut, maka Iahirlah paradigma pemerataan pembangunan, dengan
asumsi bahwa pemerataan pelaksanaan program pembangunan pada semua wilayah akan
tercipta pula pemerataan hasil pembangunan, serta mendistribusi kembali
hasil-hasil pembangunan dari kawasan pusat pertumbuhan untuk kawasan
terbelakang, agar tercipta pemerataan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan oleh
seluruh lapisan masyarakat. Pergeseran paradigma ini terlihat dari Pelita I dan
II yang menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai Trilogi pertama pembangunan,
sedang pada pelita III bergeser menjadi pemerataan pembangunan sebagai Trilogi
pertama. Ternyata pemerataan pembangunan kurang mewujudkan percepatan
pemerataan hasil-hasil pembangunan, yang diindikasikan oleh kemiskinan,
kemelaratan, kekumuhan dan ketidak berdayaan dalam menghadapi berbagai tekanan.
Hal ini terlihat pada sebagaian besar lapisan masyarakat terutama yang hidup
dalam kawasan pedesaan yang terisolasi dan terpencil. Rendahnya tingkat
perubahan kondisi kehidupan masyarakat melalui kebijakan pemerataan, melahirkan
paradigma pernbangunan yang berpusat pada manusia. Implementasinya tercermin
pada program-program yang secara langsung ditujukan kepada masyarakat lapisan
bawah, seperti pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (pangan, sandang, papan,
kesehatan, pendidikan) maupun program penanggulangan kemiskinan. Kebijakan
paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia, implementasinya cukup
berhasil, walaupun dalam proses yang lambat akibat masih adanya intervensi dan
dominasi kekuasaan pemerintah dalam menetapkan prioritas program yang
diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat. Menguatnya dominasi kekuasaan
pemerintah dalam pengelolaan pembangunan, melahirkan paradigma baru pembangunan
yakni paradigama pemberdayaan masyarakat. Asumsinya adalah bahwa dipandang
perlu mengurangi dominasi kekuasaan pemerintah yang sangat luar biasa dalam
berhadapan dengan ketidakberdayaan masyarakat, melalui pengelolaan pembangunan
kepada masyarakat, karena kekuasaan pemerintah pada hakekatnya berasal dari
kedaulatan rakyat.
2.
Pendekatan
dalam pemberdayaan masyarakat
Daya merupakan
kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak, sedangkan berdaya berarti
berkekuatan, bertenaga, berkemampuan memiliki akal/cara untuk mengatasi
sesuatu. Pemberdayaan masyarakat dapat diartikan suatu usaha untuk memberikan
kekuatan, tenaga, kemampuan, mempunyai akal/cara untuk mengatasi masalah dalam
kehidupan masyarakat.
Dalam
literatur, pemberdayaan masyarakat dikonsepkan dalam dua makna pokok,
yakni : (1) meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pelaksanaan berbagai
kebijakan kemampuan yang diharapkan dan (2) meningkatkan kemandirian masyarakat
melalui pemberian wewenang secara proporsional kepada masyarakat dalam
pengambilan keputusan untuk membangun diri dan lingkungannya secara mandiri.
Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat berarti memampukan
dan memandirikan masyarakat. Implementasi konsepsi pemberdayaan masyarakat
dalam kebijakan pembangunan nasional, harus terwujud dalam 3 (tiga) aspek
kebijakan utama, yakni : (1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan
berkembangnya potensi atau daya yang dimiliki masyarakat, baik potensi sumber
daya alam maupun potensi sistem nilai tradisional sebagai kearifan lokal yang
telah membudaya dalam menata kehidupan masyarakat (2) memperkuat potensi atau
daya yang dimiliki masyarakat, baik potensi lokal yang telah membudaya dalam menata
kehidupan masyarakat melalui pemberian masukan atau input berupa bantuan dana,
pembangunan prasarana dan sarana, baik fisik (jalan, irigasi, listrik) maupun
sosial (pendidikan, kesehatan) serta pengembangan lembaga pendanaan, penelitian
dan pemasaraan di daerah, dan (3) melindungi melalui pemihakan kepada
masyarakat yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang, dan bukan
berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi.
II. KONSEPPEMBERDAYAAN
1.
Pengertian
Pemberdayaan
adalah terjemahan dari empowerment. Menurut Merriam Webster dan Oxford English
Dictionery, kata empower mengandung dua pengertian, yaitu (1) to give power
atau authority to atau memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau
mendelegasikan otoritas ke pihak lain, (2) to give ability to atau enable atau
usaha untuk memberi kemampuan.
Konsep
pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pernbangunan dan model
industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun
dari kerangka logik sebagai berikut : (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan
terbangun dari pemusatan penguasaan faktor produksi, (2) pemusatan kekuasaan
faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja yang lemah dan masyarakat
pemilik daktor produksi yang kuat, (3) kekuasaan akan membangun bangunan atas
atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum, dan ideologi yang
manipulatif untuk memperkuat dan legitimasi, (4) kooptasi sistem pengetahuan,
sistem hukum, sistem politik, dan ideologi, secara sistematik akan menciptakan
dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tidak berdaya.
Akhirnya yang terjadi adalah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan
manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka
harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang dikuasai
(empowerment of the powerless).
Fakta empirik
dan pengalaman mengenai pemberdayaan. Pandangan pertama, pemberdayaan
adalah penghancuran kekuasaan atau power to nobody. Pandangan ini didasari oleh
keyakinan, bahwa kekuasaan telah menterasingkan dan menghancurkan manusia dari
eksistensinya. Oleh sebab itu untuk mengembalikan eksistensi manusia dan
menyelamatkan manusia dari keterasingan dan penindasan, maka kekuasaan harus
dihapuskan. Pandangan kedua, pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan
kepada setiap orang (power to everybody). Pandangan ini didasarkan pada
keyakinan, bahwa kekuasaan yang terpusat akan menimbulkan abuse dan cenderung
mengalienasi hak normatif manusia yang tidak berkuasa atau yang dikuasai. Oleh
sebab itu, kekuasaan harus didistribusikan ke semua orang, agar semua orang
dapat mengaktualisasikan diri. Pandangan ketiga, pemberdayaan adalah
penguatan kepada yang lemah tanpa menghancurkan yang kuat. Pandangan ini adalah
antitesis dari pandangan yang paling moderat dari dua pandangan lainnya.
Pandangan ini adalah antitesis dari pandangan power to nobody dan pandangan
power to everybody. Menurut pandangan ini, Power to nobody adalah kemustahilan
dan power to everybody adalah chaos dan anarki. Oleh sebab itu menurut pandangan
ketiga, yang paling realitis adalah power to powerless.
Ketiga
pandangan ini, kalu dikaji secara seksama, ternyata berpengaruh cukup
signifikan dalam konsep dan praksis pemberdayaan. Di dalam praktik, paling
tidak ada 3 konsep pemberdayaan. Konsep pertama, pemberdayaan yang hanya
berkutat di daun dan ranting atau biasa disebut sebagai magical paradigma.
Refleksi dari paradigma ini adalah, bahwa struktur sosial, struktur ekonomi,
dan struktur politik yang ada sudah dianggap given, maka pemberdayaan masyarakat
adalah merekayasa bagaimana masyarakat lemah dapat menyesuaikan dengan sistem
ekonomi, sistem politik, dan sistem sosial budaya yang sudah given tersebut.
Bentuk aksi dari konsep ini merubah sikap mental masyarakat tidak berdaya dan
pernberian santunan. Konsep kedua, pemberdayaan yang hanya berkutat di
batang atau biasa disebut sebagai naive paradigma. Refleksi dari paradigma ini
adalah bahwa secara umum tatanan sosial, ekonomi, politik dan budaya, sudah
benar, kalaupun ada kesalahan ada pada praktik di lapangan atau pada kebijakan
operasional. Oleh sebab itu, pemberdayaan masyarakat mencakup dua dimensi,
yaitu dimensi perbaikan kebijakan operasional (reformasi) dan dimensi rekayasa
masyarakatnya. Dalam rangka rekayasa masyarakatnya, bentuk pilihan aksinya
adalah affirmative action. Konsep ketiga, pemberdayaan yang hanya
berkutat diakar atau biasa disebut sebagai critical paradigma. Refleksi dari
paradigma ini adalah tidak berdayanya masyarakat disebabkan oleh struktur
politik, ekonomi, dan sosial budaya, yang tidak memberi ruang bagi masyarakat
lemah untuk berbagi kuasa dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya.
Maka bentuk aksi yang ditawarkan adalah.meninjau kembali sistem politik, sistem
ekonomi, dan sistem budaya yang tidak memungkinkan masyarakat untuk berkembang
tersebut. Singkat kata, konsep permberdayaan masyarakat yang hanya berkutat
pada akar adalah penggulingan the powerfull. Kesalahpahaman mengenai
pemberdayaan ini, maka menimbulkan pandangan yang salah, seperti bahwa
pemberdayaan adalah proses penghancuran kekuasaan, proses penghancuran negara,
dan proses penghancuran pemerintah (Pranarka dan Moelyarto, 1996).
Menurut
Lenin (1963), pemberdayaan masyarakat adalah proses perjuangan kaum powerless
untuk memperoleh surplus value sebagai hak normatifnya. Perjuangan memperoleh
surplus value dilakukan melalui distribusi penguasaan faktor-faktor produksi.
Dan perjuangan untuk mendistribusikan pengasaan faktor-faktor produksi harus
dilakukan melalui perjuangan politik. Kalau Lenin, lingkup pemberdayaan adalah
pemberdayaan masyarakat, maka menurut Friedman, pemberdayaan harus dimulai dari
rumah tangga. Pemberdayaan rumah tangga adalah pemberdayaan yang mencakup aspek
sosial, politik, dan psikologis. Yang dimaksud dengan pemberdayaan sosial adalah
usaha bagaimana rumah tangga lemah memperoleh akses informasi, akses
pengetahuan dan keterampilan, akses untuk berpartisipasi dalam organisasi
sosial, dan akses ke sumber-sumber keuangan. Pemberdayaan politik adalah usaha
bagainana rumah tangga yang lemah memiliki akses dalam proses pengambilan
keputusan publik yang mempengaruhi masa depan mereka. Sedang pemberdayaan
psikologis adalah usaha bagaimana membangun kepercayaan diri rumah tangga yang
lemah.
Selain
Lenin dan Friedman, masih banyak pandangan mengenai pengertian pemberdayaan,
seperti dari David C Korten (1986), Uner Kirdar clan Leonard Silk (1995),
Gaustav Ranis (1995), Hulme clan Turner (1990), Robert Dahl (1963), Kassam
(1989), Sen clan Grown (1987), clan Paul (1987), yang pada prinsipnya adalah
bahwa pemberdayaan adalah penguatan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam
proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi masa depannya, penguatan
masyarakat untuk dapat memperoleh faktor-faktor produksi, dan penguatan
masyarakat untuk dapat menentukan pilihan masa depannya.
2.
Problem
Pembangunan Perdesaan
Dalam
rangka membangun perdesaan yang kuat, efisien, dan modern, ada 5 (lima) agenda
permasalahan yang perlu di pecahkan. Kelima agenda permasalahan tersebut adalah
: (1) belum optimalnya pemerintah dalam menyediakan barang publik dan jasa
publik kepada masyarakat (seperti prasarana kesehatan, prasarana pendidikan,
prasarana sosial budaya, keamanan, pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan),
(2) rendahnya posisi tawar masyarakat dalam pasar input (tenaga kerja, modal,
lahan), (3) belum berfungsinya pemerintah dalam mendorong terbangunnya pasar
input dan pasar output yang efisien, (4) rendahnya daya beli masyarakat sebagai
akibat rendahnya pendapatan masyarakat dan tingginya harga barang output akibat
buruknya kelembagaan dan prasarana transportasi, (5) rendahnya akses bagi
petani dan usaha kecil di perdesaan untuk memasuki pasar input, sebagai akibat
buruknya kelembagaan dan prasarana transportasi, (6) terbatasnya kemampuan
pemerintah desa dalam menyediakan prasarana untuk usaha ekonomi di perdesaan,
dan (7) belum terbangunnya kerjasama yang saling menguntungkan antara usaha
besar dan usaha kecil.
Agenda
Pertama, adalah bagaimana pemerintah mampu menyediakan barang publik dan jasa
publik kepada masyarakat, selama ini karena keterbatasan anggaran yang dimiliki
pemerintah desa, maka barang publik dan jasa publik yang seharusnya diterima
oleh masyarakat belum dapat disediakan oleh pemerintah. Barang publik yang
seharusnya disediakan oleh pemerintah adalah prasarana pendidikan, prasarana
kesehatan, prasarana sosial, prasarana transportasi. Sedang jasa publik yang
mestinya disediakan oleh pemerintah kepada masyarakat desa adalah jasa
keamanan, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan.
Agenda
kedua, adalah permasalahan seJauhmana masyarakat mampu menyediakan faktor
produksi (lahan, tenaga kerja dan modal) pada dunia usaha, dan sejauhmana
masyarakat memiliki posisi tawar yang kuat di pasar input. Pemberdayaan
masyarakat dalam bidang ekonomi, bukan hanya bagaimana sektor usaha mikro,
usaha kecil, dan usaha menengah, tumbuh dan berkembang, tetapi juga bagaimana
masyarakat mampu memasok kuat dalam pasar input lahan. Selama ini posisi
masyarakat sebgaai penyedia faktor produksi seperti lahan, modal, dan tenaga
kerja, sangat lemah. Terjadinya konflik lahan antara masyarakat dengan
pengusaha di beberapa daerah, menunjukkan bahwa pasar input yang berupa lahan
belum berjalan sebagaimana mestinya, dan masyarakat selalu berada pada posisi
yang tidak menguntungkan. Rendahnya kualitas tenaga kerja di satu sisi dan
tidak seimbangnya antara pasokan dan kebutuhan tenaga kerja, menjadikan posisi
masyarakat dalam pasar tenaga kerja juga tidak menguntungkan. Dengan demikian,
kalau pemberdayaan masyarakat tidak menyentuh aspek-aspek ini, maka tidak akan
memberikan hasil yang mermuaskan.
Agenda
ketiga, mencakup dua permasalahan, yaitu permasalahan sejauhmana pemerintah
telah melaksanakan fungsinya dalam memberikan pelayanan yang baik kepada sektor
usaha dan bagaimana pemerintah telah melaksanakan fungsi pengaturan. Dalam
hubungan dengan fungsi pengaturan peran pemerintah adalah meningkatkan
efisiensi, menciptakan keadilan, menjaga stabilitas ekonomi, dan mendorong
pertumbuhan ekonomi. Kesenjangan ekonomi yang tinggi (antar daerah, antar
golongan penduduk, antar desa dan kota, serta sektor), politik monopoli dan
monopsoni, berbagai regulasi yang menimbulkan inefisiensi ekonomi, adalah bukti
bahwa pemerintah belum dapat melaksanakan fungsi pengaturan itu secara baik.
Itulah sebabnya rakyat mengamanahkan kepada pemerintah melalui GBHN tahun 2000
untuk mengoptimalkan peranan pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan
pasar dengan menghilangkan seluruh hambatan yang mengganggu mekanisme pasar,
melalui regulasi, layan publik, subsidi dan insentif, yang dilakukan secara
transparan.
Agenda
keempat, adalah randahnya daya beli masyarakat perdesaan terhadap barang dan
jasa. Ada dua sebab mengapa daya beli masyarakat perdesaan rendah Pertama
karena harga barang dan jasa di perdesaan cukup tinggi sebagai akibat biaya
transport dan besarnya margin yang diperoleh oleh pedagang. Kedua karena
pendapatan masyarakat yang rendah. Rendahnya pendapatan masyarakat karena upah
tenaga kerja yang rendah.
Agenda
Kelima, adalah bagaimana petani, pengrajin dan usaha rakyat diperdesaan mampu
menembus pasar barang dan jasa. Selama ini problem yang dihadapi petani adalah
sulitnya mereka dalam menembus pasar. Petani selalu dihadapkan dengan persoalan
harga yang jatuh pada saat panen. Rendahnya harga pada saat panen, selain
karena axcess demand juga dikarenakan jaringan pasar yang sangat panjang,
sehingga margin terbesar dinikmati oleh pedagang, bukan produsen (petani).
Agenda
keenam, adalah bagaimana usaha mikro, usaha kecil dan usaha menengah dapat
memasuki pasar input dengan tanpa hambatan dan tanpa diskriminasi. Seperti
diketahui, bahwa salah satu masalah yang dihadapi oleh usaha mikro, usaha kecil
dan usaha menengah adalah dalam hal akses untuk memperoleh modal. Disatu sisi,
lambannya akumulasi kapital dikalangan pengusaha mikro, kecil dan menengah,
merupakan salah satu penyebab lambannya laju perkembangan usaha dan rendahnya
surplus usaha disektor usaha mikro, kecil dan menengah. Faktor modal juga
menjadi salah satu sebab tidak munculnya usaha-usaha baru diluar sektor
ekstratif. Yang perlu dicermati dalam usaha pemberclayaan masyarakat dibidang
ekonmi melalui aspek permodalan ini adalah : (1) bagaimana pemberian bantuan
modal ini tidak menimbulkan ketergantungan masyarakat, (2) bagaimana pemecahan
aspek modal ini dilakukan melalui penciptaan sistem yang kondusif baru usaha
mikro, usaha kecil, dan usaha menengah untuk mendapatkan akses di lembaga
keuangan, (3) bagaimana skema penggunaan atau kebijakan pengalokasian modal ini
tidak terjebak pada perekonomian subsisten. Tiga hal ini penting untuk
dipecahkan bersama. Inti pemberdayaan adalah kemandirian masyarakat. Pemberian
hibah modal kepada masyarakat, selain kurang mendidik masyarakat untuk
bertanggungjawab kepada dirinya sendiri, juga akan dapat mendistorsi pasar
uang. Oleh sebab itu, cara yang cukup elegan dalam memfasilitasi pemecahan
masalah permodalan untuk usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah adalah
dengan menjamin kredit mereka di lembaga keuangan yang ada, dan atau memberi
subsidi bunga atas pinjaman mereka di lembaga keuangan. Cara ini selain
mendidik mereka untuk bertanggungjawab terhadap pengembalian kredit, juga dapat
menjadi wahana bagi mereka untuk terbiasa bekerjasama dengan lembaga keuangan
yang ada, serta membuktikan kepada lembaga keuangan bahwa tidak ada alasan
untuk diskriminatif dalam pemberian pinjaman.
Agenda
ketujuh, adalah bagaimana pemerintah harus menyediakan prasarana pendukung bagi
tumbuh dan berkembangnya usaha rakyat, seperti prasaana jalan, prasarana
irigasi, prasarana pergudangan, dan prasarana pasar, untuk itu maka harus ada
kejelasan, maka prasarana perdesaan yang menjadi tanggung jawab desa dan mana
prasarana yang pembangunan dan pemeliharaannya menjadi tanggung jawab
pemerintah kabupaten.
Agenda
kedelapan, adalah bagaimana membangun hubungan kemitraan antara usaha mikro,
usaha kecil, usaha menengah dan usaha besar sebagai satu kesatuan ekonomi yang
memungkinkan terbangunnya struktur usaha yang kokoh dan memiliki keterkaitan
struktural yang kuat. Sebab pertumbuhan dan pemerataan akan dapat dicapai kalau
ada sinergi antara usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan usaha besar.
Terbangunnya struktur usaha yang kuat, akan dapat meningkatkan efisiensi usaha,
dan pada gilirannya ekonomi Indonesia akan dapat menghadapi persaingan global.
3.
Pemberdayaan
Bidang Politilk dan Sosial Budaya
Sedang
dalam pemberdayaan masyarakat dibidang politik dan sosial budaya paling tidak,
ada 4 agenda, yaitu : (1) bagaimana masyarakat memiliki akses dalam proses
pengambilan keputusan kebijakan publik, (2) bagaimana masyarakat memiliki akses
dalam mengontrol pelaksanaan pembangunan, (3) bagaimana mengotimalkan peran
pemerintah dalam melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat, dan (4)
bagaimana merumuskan pembagian peran dan tanggungjawab antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan pemerintah desa.
Agenda
Pertama, yaitu bagaimana meningkatkan akses masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan kebijakan publik. Dengan politik masa mengambang selama ini, aspirasi
masyarakat dalam bidang politik tidak tersalur sebagaimana mestinya, sehingga
partisipasi masyarakat dalam poses pengambilan keputusan sangat rendah.
Teraleniasinya masyarakat untuk belajar mengelola perbedaan atau konflik.
Akibatnya, masyarakat mudah diadu domba dan rentan terhadap berbagai isu
politik.
Agenda
Kedua, yaitu bagaimana meningkatkan peran masyarakat dalam melaksanakan fungsi
kontrol. Seperti diketahui bersama, bahwa hancurnya kelembagaan sosial
kemasyarakat dan kelembagaan politik lokal, sebagai akibat kebijakan
penyeragaman, telah menumpulkan peran masyarakat dalam melaksanakan kontrol
sosial terhadap kekuasaaan. Abuse of power dan inefisiensi pengelolaan
sumberdaya pembangunan selama ini, adalah dampak dari tidak berfungsinya
masyarakat dalam mengontrol jalannya kekuasaan.
Agenda
ketiga, mencakup dua permasalahan, yaitu permasalahan sejauhmana pemerintah
telah melaksanakan fungsinya sebagai penyedia public service dan public goods
kepada masyarakat, dan permasalahan sejauhmana masyarakat telah melaksanakan
kewajibannya dalam membayar pajak. Selama ini harus diakui, bahwa pemerintah
belum dapat memberikan public servce dan menyediakan public goods kepada
masyarakat yang memadai. Banyaknya jumlah desa tertinggal, tingginya angka
kematian bayi, sulitnya penduduk di pedalaman memasarkan hasil produksi dan
memperoleh barang kebutuhan, disparitas harga barang sejenis yang begitu
mencolok antara daerah satu dengan daerah lain, belum adanya jaminan sosial
bagi fakir miskin, rendahnya mutu pelayanan pendidikan, adalah fakta empirik
yang tidak dapat kita pungkiri. Masalahnya bukan saja penyediaan public good
tetapi juga siste deliverynya Di sisi lain, memang pemerintah juga memiliki
keterbatasan, yaitu anggaran. Tetapi anggaran ini sebenarnya akan dapat
dipecahkan kalau pemerintah dapat melaksanakan fungsi pelayanan secara baik.
Sebab dengan pelayanan yang baik dan pengelolaan yang transparan dan akuntabel,
maka masyarakat akan melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak.
Agenda
keempat, adalah bagaimana merumuskan dan menyepakati peran dan tanggungjawab
antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa, dalam
melaksanakan fungsinya secara benar dan baik. Tumpang tindih peran antara
pemerintah desa, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat dalam melaksanakan fungsi
dan peran, akan mengakibatkan pemborosan dan kontra produktif. Inefisiensi di
sektor pemerintahan pada akhirnya akan mengimbas di sektor usaha atau private
sector.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar