Minggu, 31 Agustus 2014

MEMPOSISIKAN KONSUMER SEBAGAI CERMIN PEMERINTAHAN





Oleh Dr. H. Rachmat Maulana S.Sos MSi

1.   Pendahuluan

Seiring dengan bergulirnya  era  reformasi di negeri tercinta ini maka peran pemerintah sebagai penyedia jasa layanan publik mulai hangat diperbincangkan oleh masyarakat sebagai  konsumen penerima layanan tersebut, namun sebelumnya   peran pemerintah ini seolah-olah sulit disentuh oleh masyarakat  sebagai konsumen untuk mempertanyakan  mengapa selama ini layanan yang diberikan tidak mendudukan keberadaan  konsumen sebagai ukuran dari keberhasilan kinerja organisasi publik.
Padahal  peran pemerintah sebagai penyedia  layanan publik menurut  Ndraha (2002:2) bersifat monopoli dan istimewa. Artinya  bidang garapan yang dilakukan  oleh pemerintah terhadap layanan publik merupakan kepentingan umum yang merupakan hajat hidup orang banyak sehingga harus  diatur supaya tidak terjadi konflik kepentingan antar masyarakat. Akan tetapi yang terjadi selama ini adalah bahwa  dengan otoritasnya yang bersifat monopoli dan istimewa maka peran pemerintah sebagai  provider atas layanan yang  diberikan kepada masyarakat sangat kurang memperhatikan  terhadap kebutuhan  masyarakat sebagai konsumen. Jasa layanan yang diberikan tidak mengukur sampai seberapa besar  konsumen sebagai  pelanggan dapat terpuaskan, hal ini dapat diterima mengingat  pemerintah belum mendudukan masyarakat sebagai konsumer atas produk – produk layanan yang dihasilkan.
Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai keberadaan peran  pemerintah sebagai organisasi publik dikarenakan munculnya berbagai ketidakpuasaan masyarakat terhadap kualitas layanan  yang  diberikan oleh pemerintah terlebih  lagi oleh dinas – dinas atau lembaga – lembaga pemerintah  yang menjalankan fungsi sebagai pelayanan publik.
Selama ini keberadaan masyarakat  sulit memiliki akses untuk ikut  serta dalam  proses kegiatan layanan  publik, akibatnya peran masyarakat sebagai kontrol sosial terhadap pelayanan yang diterimanya menjadi sangat lemah. Apapun yang diberikan oleh pemerintah  sebagai penyedia jasa layanan    maka  masyarakat hanya bisa pasrah menerimanya dalam kondisi apapun sehingga keberadaan masyarakat benar-benar diposisikan untuk  tidak memiliki pilihan sama sekali untuk memilih antara menerima atau menolak layanan yang diberikan. Kepasrahan masyarakat ini terjadi karena memang jasa layanan publik yang diberikan menjadi satu-satunya alternatif untuk dipilih meskipun pada beberapa layanan publik seperti layanan kesehatan masyarakat bisa saja memilih untuk mencari layanan kesehatan sendiri atau layanan yang ditawarkan oleh pihak swasta, namun  hal itu menjadi sesuatu yang menjadi mahal ketika pilihan tersebut harus mengeluarkan biaya yang lebih besar.
Bila diamati lebih lanjut sebenarnya masyarakat telah membayar sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh  pemerintah baik dalam bentuk pajak, iuran,  retribusi atau apapun namanya sehingga masyarakat terutama masyarakat menengah  dan kecil sebagai  konsumen merupakan pelanggan  setia terhadap jasa pelayanan publik. Oleh karenanya  sudah sepatutnya  pemerintah memberikan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat agar harapan yang diinginkan masyarakat sebagai  pelanggan dapat terpenuhi dengan baik.
Salah satu peluang dalam era otonomi daerah pada saat ini adalah semakin pendeknya simpul –simpul pengambilan  kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah daerah dalam mengembangkan, memfasilitasi berbagai tuntutan maupun kepentingan masyarakat  didaerah. Oleh sebab  itu peran pemerintah sebagai penyedia jasa pelayanan kepada masyarakat harus  dapat betul-betul  diajalankan dengan baik, dalam arti pemerintah  daerah dituntut lebih responsif, adaptif dan lebih antisipatif terhadap kebutuhan -  kebutuhan masyarakatnya. Bila  peran  ini jalankan secara konsisten  maka pemerintah daerah  akan dapat membangun kembali nilai kepercayaan dari masyarakatnya yang pada gilirannya akan dapat menjaga dari keutuhan pemerintahan secara keseluruhan.
Penilaian Masyarakat akan organisasi  unit – unit  pelayanan dijadikan sebagai sebuah “cermin pemerintahan” artinya bila pelayanan yang diberikan pada tingkat ini dapat memberikan kepuasan masyarakat maka citra pemerintahan akan dipandang positif sebaliknya  bila pelayanan yang diberikan tidak dapat memberikan kepuasan bahkan malah sangat lamban dan  semraut maka masyarakat akan memvonis bahwa citra pelayanan adalah negatif. Dengan kata lain bahwa organisasi  unit – unit pelayanan merupakan sebuah pasar pemerintahan yang menentukan citra pemerintahan secara keseluruhan.

2. Konsepsi Makna Pemerintahan

Pemahaman  makna Pemerintahan dari kaca mata lain terlihat memang sangat asing karena selama ini telah tertanam bahwa pemerintahan berorientasi dalam konteks kekuasaan yaitu merupakan semua kegiatan lembaga atau badan – badan publik dalam menjalankan fungsinya untuk mencapai tujuan negara. Dengan demikian makna pemerintahan selalu berorientasi kepada negara yang pada gilirannya bergeser pada penguasa.
          Dalam konteks ilmu politik memang dunia  pemerintahan selalu berawal dari negara karena menurut Robert M. Mac Iver (1955:22) dalam bukunya The Modern State  menyatakan bahwa negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem  hukum yang diselenggarakan oleh suatu  pemerintah  yang untuk maksud tersebut  diberki kekuasaan memaksa. Oleh karenanya menurut Miriam Budiardjo (1977: 41-43) dalam bukunya Dasar – Dasar  Ilmu Politik menyatakan  bahwa unsur – unsur negara terdiri dari wilayah,  penduduk, dan  pemerintah. Pemahaman ini telah lama mendominasi  pemikiran  orang  - orang yang berkerja untuk negara. Sedangkan  pemikiran yang sangat substansial bahwa negara merupakan representasi dari rakyat dan bahwa negara berdiri atas kehendak rakyat terasa terabaikan bahkan lebih banyak  menjadi sebuah semboyan kenegaraan yang sering didengung – dengungkan  yaitu demokrasi dibangun dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat konsep ini dibangun dari konsep atau faham kenegaraan yang berlaku kalau kita membicarakan  sebuah  wacana politik didepan rakyat.
          Lantas apa sebenarnya pemahaman makna pemerintahan yang benar dari kacamata ilmu pemerintahan. Hal inilah yang harus  diperkenalkan  secara meluas tidak hanya dikalangan pemerintah yang bekerja dalam dunia  pemerintahan  akan tetapi  dikalangan masyarakat sebagai  pengguna jasa pemerintahan. Sudah saatnya diperkenalkan sebuah konsep pemerintahan dalam kontek ilmu pemerintahan. Hal ini penting agar makna pemerintahan tidak lagi  disalah artikan untuk kepentingan penguasa atau kepentingan segelintir elit yang memanfaatkan arti dan makna pemerintahan yang  terlanjur digembar gemborkan selama ini.
          Dasar pemikiran  tentang makna Pemerintahan berangkat  dari pendekatan Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) yang diungkapkan oleh Talizidu Ndarah (2003) menyatakan bahwa secara makro, begitu manusia diciptakan, dan secara mikro  begitu manusia terbentuk dalam kandungan ibunya, maka ia  mempunyai hak (rights) eksistensial (HAM) yang harus diakui, dihormati, dilindungi dan dipenuhi dan naluri (instincts) yang harus terkontrol agar tidak menimbulkan kerugian bagi diri sendiri  dan orang lain.
            Hak (rights) dan Naluri (Insticts) setiap manusia harus hidup didalam ruang dan waktu. Dengan demikian diperlukan  perlindungan, pemenuhan dan  kontrol yang kesemuanya   itu merupakan kebutuhan (human Needs),  baik individual maupun social  (masyrakat).
            Kebutuhan masyarakat  di dalam kondisi tertentu, bermacam – macam, ada yang bisa dipenuhinya sendiri, ada yang dipenuhi melalui mekanisme pasar (Privaten Choice), dan ada yang jika menjadi private choice, menimbulkan konflik, ketidak-adilan atau bahkan tak terpenuhi sama sekali. kebutuhan seperti ini diidentifikasikan dan ditetapkan melalui public choice  (misalnya dalam pasal 33 ayat 2  UUD  1945 berbunyi bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang mengusai hajat hidup orang banyak dikuasai  oleh negara). Supaya berkemampuan dan berkesempatan  untuk membuat choice maka manusia harus diempowering. Mengingat hal  tersebut, maka pemenuhannya  harus diproses secara istimewa. Istimewa dalam arti bahwa proses itu harus seefisien mungkin, sehemat mungkin,  seproduktif mungkin, seterbuka mungkin, sehingga biaya dan tariff (harga-hargaanya)  serendah  mungkin, seterjangkuan mungkin oleh setiap orang, sedianya memadai sehingga semua orang kebagian, dengan cara demikian rupa sehingga setiap orang berkesempatan sama untuk menggunakannya.  Proses itu disebut istimewa karena choice   itu ditetapkan melalui Policy, diatur secara ketat  dan diperlukan kekuasaan (kewenangan) untuk menegakkan aturannya, tugas ini  semua dilakukan   oleh lembaga yang  disebut  Pemerintah. Adapun  proses dan  outpuntnya disebut publik service (layanan masyarakat)
            Alat yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan seperti itu disebut  barang publik (public  goods) dan nilai yang dinikmati oleh konsumer dari  barang tersebut disebut  jasa publik (public Service)  atau layanan kepada masyarakat. Hal ni disebut  jasa karena nilai itulah yang dibayar (dibeli) secara langsung  oleh yang berkepentingan dalam hal ni adalah masyarakat kepada pemerintah. Sudah barang tentu bahwa jenis produk yang dapat digolongkan sebagai public goods itu bisa berbeda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat, bergantung pada choice masyarakat yang  bersangkutan.
            Pengelolaan public  service merupakan monopoli badan  publik yang juga bersifat  istimewa. Supaya produk sedemikian itu terpenuhi, badan yang memprosesnya haruslah badan atau lembaga non frofit (Profit dalam arti Finansial) dan Profesional. Adapun  pelaksanaan layanan publik berdasar pada no money no service dalam konteks  service better, cost less. Tariff sesederhana mungkin dengan kualitas setinggi mungkin.
            Disamping itu produk dan nilai tersebut diatas, maka ada kebutuhan lain yang berfungsi  tidak hanya  sebagai pemenuh kebutuhan tetapi juga bahkan lebih sebagai  pemenuhan hak  eksistensial dan konsistusional suatu negara atau konvensi bangsa-bangsa. Pelaku yang berkewajiban memenuhi kebutuhan tersebut adalah aktor dalam hal ini  pemerintah dan nilai yang dinikmati oleh pengguna /consumer atau masyarakat disebut layanan. Layanan ini disebut layanan civil dengan suatu pendalaman pemahaman bahwa dalam layanan civil masyarakat tdiak boleh dibebani atau dikaitkan dengan suatu kewajiban finansial apapun. Karena  itu layanan civil disebut juga  no price.  Dalam  UUD 1945 sarat dengan nilai-  nilai layanan civil,  sebagai mana ditetapkan lebih lanjut pada pasal 26,27,28,31 dan 34.
            Dapat dicontohkan nilai – nilai layanan civil yang harus dilakukan pemerintah  kepada waraganya sesuai dengan UUD 1945 yaitu :
1.   Hak / Pengakuan sebagai warga negara yang memiliki kedaulatan atau sebagai voter. Pasal  1
2.   pengakuan sebagai jiwa dan sebagai  warga negara. Pasal 25
3.   pekerjaan dan  pengidupan yang layak. Pasal 27 ayat 2
4.   kebersamaan  kedudukan di depan hokum. Pasal 27 ayat 1
5.   kemerdekaan berserikat, berkumpul. Mengeluarkan pikiran. Pasal 28 
6.   kemerdekaan untuk memeluk agama  pasal 29
7.   pengajaran.  pasal 31
8.   Pemeliharaan fakir  miskin dan anak terlantar.
            Oleh karenanya pemerintahan didefiniskan oleh talizidu Ndraha (2002:17) diartikan sebagai proses pemenuhan kebutuhan manusia sebagai konsumer (produk – produk pemerintahan) akan layanan publik dan layanan civil). Sedangkan pemerintah adalah badan atau lembaga yang berfungsi sebagai prosesor (pengelola dan provider) akan jasa layanan dimaksud. Produk pemerintahan adalah keseluruhan output yang terjadi melalui proses, baik yang positif maupun yang negatif, dan outcome yang diterma oleh masyarakat sebagai konsumer. 

3.   Sketsa Cermin Pasar Pemerintahan dari Kantong -  Kantong Pelayanan.
Dalam  sudut pandang  Kybernologi (Ilmu Pemerintahan Baru) melihat pemerintahan dari konsep  ekonomi   dimana isitilah pasar diartikan tempat dimana bertemunya  konsumen yaitu pembeli dengan penjual  atau sering disebut produsen. Dalam kaitan  itu maka pasar pemerintahan berarti tempat  bertemunya masyarakat  sebagai konsumen  dengan pemerintah sebagai produser dan penyedia akan layanan atau jasa  yang ditawarkan. Hanya saja posisi  pemerintah sebagai produser sering  menjadi single fighter  bahkan monopli sehingga hukum penawaran  tidak dapat berlaku secara  utuh. Bila masyarakat membeli atau mencari  apa yang mereka butuhkan kepada pemerintah maka posisi tawar konsumer  /  masyarakat sering berada pada posisi lemah yaitu pasti menerima, jarang menolak karena  konsumer tidak memiliki alternatif  lain tidak seperti ppasar  dalam kontek bisnis yaitu banyak pedagang yang menjadi  pesaing. Oleh karenanya sering ditemui pada produser bertingkah laku seenaknya seolah – olah  apa yang dilakukannya serba  benar dan serba diterima  oleh konsumer.
Pertanyaan yang sangat mendasar dalam kontek ini adalah dimana pasar pemerintahan itu terjadi  atau dimana  letak pasar pemerintahan itu. Kajian Kybernologi melihat bahwa transaksi pemerintahan itu  terjadi pada kantong – kantong pelayanan disemua unit kerja yang langsung berhadapan dengan  masyarakat. Banyak sekali kantong – kantong  pelayanan  tersebut. Ambil  contoh   disektor kesehatan pasar pemerintahan terjadi di Rumah Sakit, di Puskesmas, di Posyandu  bahkan di Dinas sekalipun yang melakukan kegiatan pelayanan masyarakat. Di sector perhubungan maka pasar pemerintahan terjadi di Terminal di unit – unit pelayanan langsung kepada pengguna jasa transpostasi. Atau yang sering terlihat dan sangat dekat dengan masyarakat adalah di  Desa, Kelurahan dan Kecamatan sebagai unit pelayanan terdepan kepada  masyarakat.
Kondisi actual dari pasar pemerintahan mengungkapkan citra pelayanan yang terjadi, dimana hasil penelitian yang dilakukan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat studi pengembangan Kawasan (PSPK) bekerjasama dengan NGO lokal di 9 kota  pada tahun 2001 yang diterbitkan oleh Jurnal PSPK (2002:114-123), dinyatakan bahwa: Kondisi pelayanan publik masih jauh dari harapan warga dan masih menyisakan banyak persoalan diantaranya sektor layanan publik yang bermasalah antara lain : (1) layanan PDAM, (2) Listrik dan Telephon, (3) kebersihan/ persampahan, (4) kependudukan, (4) Angkutan Kota, (5) kesehatan, (6) pendidikan.
Dari berbagai persoalan berkaitan dengan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyatnya maka sudah saatnya dilakukan perubahan citra pelayanan didalam tubuh pemerintah. Citra ini menjadi sangat penting karena berkaitan erat dengan nilai kepercayaan masyarakat terhadap  pemerintahnya. Semakin baik citra pemerintah dimata rakyat maka masyarakat akan semakin percaya terhadap pemerintahnya. Oleh karena itu perubahan citra terhadap kegiatan pelayanan menjadi  sesuatu yang amat penting artinya. Citra akan membangun sebuah nilai kepercayaan dan nilai kepercayaan adalah sebuah modal penting bagi  jalannya sebuah pemerintahan.
          Oleh karenanya sudah saatnya perlu mendapat perhatian yang sangat serius bagi pengambil kebijakan untuk membenahi pasar pemerintahan terutama pada kantong – kantong pelayanan yang mengurusi  hajat hidup masyarakat. Hal ini penting agar citra pemerintahan dapat terjaga dengan baik karena  citra pemerintahan pada kantong – kantong pelayanan merupakan sebuah  refleksi dari cermin pemerintahan secara keseluruhan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan  perubahan citra pelayanan. Dwiyanto (2001:250-257) memberikan suatu rekomendasi terhadap  perbaikan kinerja  pelayanan publik antara lain : (1) adanya  intervensi pemerintah baik pusat maupun daerah  untuk merubah wajah pelayan  secara holistic. (2) adanya perubahan  struktur organisasi birokrasi yang memungkinkan adanya prosedur pelayan yang sederhana, (3) adanya kewenangan diskresi yang memadai sehingga tindakan para penyelenggara pelayanan menjadi lebih responsive terhadap lingkungannya, (4) kelonggaran hubungan hirarki yang memungkinkan  hubungan atasan dan bawahan menjadi bersifat kolegial dan egaliter, (5) adanya budaya dan nilai-nilai baru yang dapat merubah mindset para  penyelenggara pelayanan, (6) adanya pemberlakuan kebijakan yang dapat menyentuh semua dimensi permasalahan dalam praktek pelayanan publik melalui pemberlakuan Customer’s charter yang merupakan petunjuk dan referensi bagi birokrat dalam menjalankan tugasnya yang berisi hak-hak  yang dimiliki masyarakat  dalam suatu pelayanan. Customer’s charter  sekaligus menjadi alat publik  untuk mengawasi jalannya penyelenggaraan pelayanan dilihat dari dimensi persyaratan pelayanan, waktu, biaya yang diperlukan, dan mekanisme pangaduan jika pemberi pelayanan gagal memberikan pelayanan seperti yang dijanjikan dalam costumer’s charter.
Nugroho (2003:278) memberikan solusi terhadap  upaya  perubahan citra pelayanan dengan menerapkan suatu standarisasi  pelayanan yang akan membantu pemerintah melaksanakan tugas dan kewajiban pokoknya. Sejalan dengan hal  tersebut Ndraha (2003) melihat bahwa fungsi standarisasi pelayanan adalah sebagai tolok ukur control consumer dan semua stakeholders, harapan, sepakatan antara stakeholders, norma hukum dan pegangan bagi para actor dan aktris pemerintahan.
Adapun langkah – langkah standarisasi  menurut Ndraha (2003) adalah :
  1. didefisikan terlebih dahulu  hak-hak konstitusional tiap orang dalam masyarakat yang memerlukan pelayanan  civil dan kebutuhan apa yang dirasakan oleh kelompok tertentu di dalam  masyarakat yang memerlukan jasa pelayanan publik.
  2. penyusunan strategi dan skala prioritas terhadap produk – produk yang dijadikan prioritas.
  3. diidentifikasi kegiatan implementatif apa saja yang perlu dilakukan demi terbentuknya produk sebagai output dari sebuah pelayanan dan outcome yang diharapkan dalam ruang dan waktu.
  4. diorganisasikan semua sumber daya input, yaitu semua sumber-sumber yang idperlukan  guna menjalankan kegiatan tersebut
  5. diteliti, apakah  sudah ada unit  kerja yang bertanggung-jawab atas ketersediaan  produk yang dimaksud dan kalau ada unit  kerja mana kemudian dievaluasi.  Dari hasil evaluasi tersebut ditentukan apakah  unit kerja tersebut masih layak atau tidak.
  6. ditetapkan secara tepat unsur-unsur struktur organisasi yang berfungsi sebagai alat penghasil produk yang bersangkutan.
  7. ditentukan  dengan seksama langkah dan prosedur penggearakan strukutr dalam rangka  pemenuhan kebutuhan melalui kegiatan pelayanan.
  8. dalam hal  public service  maka harus diidentifikasi public goods (barang-barang public) yangbagaimana yang cocok sebagai sarana/prasarana pelayanan public terkait dan badan public mana yang layak untuk menanganinya.
  9. juga dipertimbangkan pada kondisi masyarakat tertentu apakah pengadaan atau pengelolaan public goods tersebut dapat diprivatisasikan
10.    dalam hal public  service dan civil service ditetapkan persyaratan yang proper dan fit bagi setiap calon actor dan artis yang bersangkutan, dengan menerapkan teori manajemen SDM agar terbentuk Korps actor dan artis yang sehat.
11.    dalam hal civil service artis pelayanan setara dengan public goods. Dengan pengertian bahwa dengan acting sang artis merupakan output civil service yang diharapkan.
12.    dalam hal pelayanan public ditentukan mekanisme dan prosedur (persyaratan) yang harus ditenpuh  oleh consumer atau yang berkepentingan laiinnya.
13.    Dalam hal layanan civil harus ditentukan mekanisme dan prosedur yang harus diperhatikan oleh actor/artis agar selalu siap siaga, sehingga consumer memperoleh layanan  semaksimal mungkin.
14.    Ditetapkan pada level mana terjadi transaksi pemerintahan, unit kerjamana yang terlibat  dan bagaimana jaringan kerjsamanya.
15.    ditetapkan bagaimana mengontrol langkah dan prosdur tersebut  beserta mekanisme feedback yang diperlukan guna penegakan aturan
16.    standarisasi dikemas dalam produk hukum  yang kuat dan mengikat fihak-figak yang berkepentingan, terlebih fihak birokrasi sebagai pabrik  layanan dan para actor yang melayani.
17.    semua definisi (standar)  dicatat dan diberi status dokumen dan referensi dalam bentuk dan cara tertentu. Dokumen  itu dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan di siding  pengadilan class action dan sebangsanya.
18.    standarisasi harus disosialisasikan, selebaran, folder, iklan, media digunakan sebagai alat  dan saluran program penyuluhan.
19.    feedback dari warga masyarakat dalam bentuk dan cara apa saja harus diperhatikan dan  digunakan sebagai bahan control dan perbaikan / perubahan standarisasi.
20.    sesekali diadakan  sambung-rasa atau temu karya antara consumer dengan actor/artis pelayanan  untuk membahas secara langsung masalah yang timbul dalam penggunaan standar yang ditetapkan.

  1. Penutup
Cermin pemerintahan merupakan sebuah refleksi keadaan yang memberikan gambaran tentang kondisi yang sebenarnya tentang keberadaan atau pososi pemerintah dimata rakyatnya. Pemerintah yang amanah berfikir dan bekerja atas apa yang mampu dilakukan  untuk memenuhi apa  yang menjadi kebutuhan masyarakatnya. Meskipun belum dapat memuaskan atau dapat memenuhi harapan masyarakatnya akan  tetapi usaha untuk memenuhi atas  apa yang menjadi kebutuhan masyarakat menjadi sebuah pekerjaaan yang tidak henti dan bosan untuk selalu dikerjakan. Selama komitment untuk mau berbuat dan berusaha untuk merubah kearah yang lebih baik. hal inipun merupakan sebuah langkah yang perlu terus menerus ditanamkan  dalam diri pemerintah kearah masa depan yang lebih baik.














Daftar Pustaka


Budiardjo Miriam, 1977, Dasar – Dasar  Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia

Dwiyanto Agus,  2001,  Reformasi Birokrasi  Publik  di Indoensia,
Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan  Kebijakan
Universitas Gadjah Mada.

Ndraha Taliziduhu ,2002, Kybernology, Ilmu  Pemerintahan Baru.
Jakarta: Rinikacipta.


Nugroho Riant, 2003, Reinventing Indonesia. Jakarta: elekmedia

Robert M. Mac Iver, 1955, The Modern State, London: Oxford
University Press


Dokumen

Undang – Undangan Dasar 1945

Jurnal PSPK tahun 2002 tentang Hasil Studi  Kinerja Pelayanan Publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar