Minggu, 17 Agustus 2014

DILEMA KEDUDUKAN DESA DALAM TINJAUAN ASPEK PEMERINTAHAN




OLEH: DR. H. RACHMAT MAULANA S.SOS M.SI

A.           Pendahuluan

Berbagai perundang-undangan yang mengatur tentang kedudukan desa di negeri ini telah mengalami berbagai perubahan seiring dengan perubahan – perubahan suasana politik yang mengirinya. Posisi desa selalu  hangat diperdebatkan tergantung dari dan apa kepentingan yang melatarbelakanginya. Padahal dalam kontek  sosiologis desa atau kota  ditujukan  sebagai suatu tempat atau suatu kesatuan masyarakat hukum yang tergantung dimana masyarakat itu berada. Diartikan sebagai kesatuan  masyarakat hukum  karena baik desa maupun kota memiliki sistem nilai yang berbeda – beda satu sama lain sehingga keberadaan  kota atau desa memiliki difinisi yang berbeda satu sama lainnya.
Meskipun dari tinjauan aspek sosiologis secara konsepsional definisi desa dan  kota sangatlah berbeda namun  menurut pandangan penulis bahwa konsepsi desa dan kota memiliki porsi yang seimbang dalam arti tekanan pendalaman  pada aspek sosiologis  melihat desa dan kota dari dalam kontek perkembangan dan dinamika masyarakatnya.  Akan tetapi bila melihat dari aspek pemerintahan maka kata desa atau kota memiliki implikasi penanganan yang sangat berbeda. Kalau saya melihat khusus untuk desa terdapat ketidakjelasan kedudukan desa. Dalam arti pada waktu yang sama desa diposisikan  menjadi sebuah komunitas dan merupakan bagian dari  penyelenggaraan pemerintahan. Desa diasumsikan oleh faktor sosial budaya yang sangat beraneka  ragam satu sama lainnya sehingga keberadaan desa oleh penguasa ingin diakomodir dalam sebuah bingkai Negara Kesatuan. Wal hasil desa yang pada awalnya merupakan sebuah komunitas ingin dipertahankan akan tetapi secara de facto kondisi desa  khususnya dijawa lebih mengarah kepada bagian dari penyelenggaraan  pemerintahan. Sedangkan kota lebih jelas karena keberadaan kota pasti diurus oleh suatu lembaga pemerintahan,  yang namanya Kelurahan. 
Pertanyaan yang muncul adalah apa hanya berbeda nama yaitu kalau  di desa pemerintahannya namanya Pemerintah Desa dan kalau di kota namanya Pemerintah Kelurahan. Kalau hanya nama mengapa harus  dibicarakan  akan tetapi implikasi dari nama tersebut menjadi  sangat serius bila dilihat dari tugas – tugas pemerintahan kepada rakyatnya. Kejelasan Desa dalam aspek pemerintahan  semestinya sama dengan kejelasan Kelurahan dalam arti berbagai instrumen yaitu personil, fasilitas, anggaran, kewenangan, standar pelayanan harus benar -  benar menjadi  tanggungjawab yang memberikan lebel sebagai bagian dari penyelenggaraan  pemerintahan. Kalau tidak terjadi standar ganda dalam hal pemberian  pelayanan dan penyelenggaraan pemerintahan. Padahal kalau memang Pemerintah Desa  dan Kelurahan  dijadikan organ pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat maka wajah atau sosok Pemerintah Desa dan Kelurahan dalam melayani masyarakat akan menjadi sebuah citra yang dapat dipertaruhkan.

B.      Sebuah Peristilahan yang mengandung konsekuensi
Kalau memang  desa dilebelkan pula  kata Pemerintah maka kata  Pemerintah Desa  menjadi suatu konsekuensi yang sangat  besar untuk ditanggung oleh pemberi kata itu yaitu “Pemerintah”. Karena kata Pemerintah Desa, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah  Kabupaten/Kota, Pemerintah Porpinsi dan Pemerintah Pusat   sama  - sama  mengandung tanggungjawab antara pemerintah  dengan  yang diberi  perintah,  antara penguasa dengan  rakyatnya, antara pelayanan dengan konsumennya. Konsekuensi ini berimplikasi  kepada hal – hal yang selama ini terjadi pada Pemerintah yang lain akan tetapi pada pemerintah  Desa jangan – jangan hanya sebuah nama  yang berarti sebuah lebel “Kekuasaan belaka”. Mengapa penulis katakan demikian karena fakta  membuktikan apa yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Desa sementara lebih banyak masalah dan keterbatasan yang dimilikinya dibanding dengan kemampuan, potensi yang dimilikinya  dan bantuan yang diterimanya. Rasanya sulit bagi sebuah pemerintahan yang berjalan tanpa dukungan sumberdaya yang jelas, ibarat orang pergi berperang tanpa memiliki senjata  yang berarti.
Bila membanding banyaknya kata Pemerintah Desa dengan  Kata Pemerintah Kelurahan di Negara ini pasti jawabannya lebih  banyak  kata Pemerintah Desa akan tetapi  bagaimana implementasi kata itu apabila dikaitkan dengan  keberadaannya ditengah – tengah masyarakat, padahal Rasyid mengatakan  (2002:23) bahwa kehadiran suatu pemerintahan harus dapat memberikan nilai manfaat bagi rakyatnya. Sebuah ironi atas keberadaan  suatu  pemerintahan yang dari tahun ketahun berjalan tanpa adanya suatu upaya – upaya yang jelas dan terukur untuk  menyelesaikan berbagai bagai macam persoalan masyarakat dan meningkatkan taraf hidupya.
Penulis berpendapat bahwa kata Pemerintah Desa mengandung konsekuensi yang sangat serius dan berimplikasi ke berbagai hal yaitu:
1.  Bahwa secara vertikal kata “pemerintah  desa” sangat berkaitan erat dengan  kata pemerintah yang lain sehingga secara struktural kata itu tidak boleh dilepaskan begitu saja bila kita menganut faham negara kesatuan maka keterkaitan antara pemerintah  Desa dengan pemerintah yang lain harus “ditegaskan”, bukan hanya  sekedar “diakui”. Kata “diakui” hanya sebatas pengakuan sedangkan   kata “bagian” mempunyai penegasan tanggungjawab dari pemerintah atasannya.
2. Bila merujuk kepada faham konsumerisme dimana pemerintah Pusat sampai ke daerah saat ini sedang giat -  giatnya mendesain berbagai standar pelayanan akan diberikan kepada rakyatnya karena rakyat dianggap  sebagai “konsumer” produk pemerintahan dan pemerintah sebagai “produser atau penghasil” dari produk tersebut maka perlakukan kata “pemerintah desa” harus disamakan pula  dengan perlakukan yang akan diberikan kepada  pemerintah lainnya. Dalam arti standar pelayanan harus pula diberlakukan  kepada Pemerintah  desa karena pemerintah  desa memiliki tanggungjawab pelayanan pemerintahan kepada masyarakat diwilayahnya.
3. Sebuah ironi bila melihat kata pemerintah desa dalam hal kesiapan  aparat  dibandingkan dengan kata pemerintah lainnya. Pada kata pemerintahan lainnya Pola rekrutment dan model pengembangan karier  yang jelas serta sistem penggajian yang  jelas akan  tetapi bila melihat kata pemerintahan desa semua serba tidak jelas. Dengan demikian sebuah renungan untuk kita para pemerhati pemerintahan bagaimana mungkin yang serba tidak jelas akan menjalankan roda pemerintahan dengan standar – standar yang baku dan jelas. Oleh karenanya sebuah konsekuensi logis bila kata pemerintahan desa akan dilaksanakan maka terdapat sebuah tugas besar untuk  bersama-sama memikirkan dan membuat formulasi kebijakan yang secara kongkrit yang dapat dilaksanakan sehingga kata pemerintahan desa dapat berjalan  sama halnya dengan pemerintahan lainnya.



B.           Perkembangan Definisi Desa  Dalam Berbagai Perundang – Undangan

Dalam  pembahasan ini penjelasan  definisi tentang desa dibatasi mulai dari  UU No. 19 /65 sampai dengan UU No. 32/2004, hal ini  didasarkan bahwa peraturan  perundang-undangan yang mengatur tentang  keberadaan  desa  yang dibuat oleh  Negara Indonesia adalah  UU No. 19 /65  tentang  Desa Praja sebagai bentuk peralihan untuk    mempercepat terwujudnya daerah tingkat III di seluruh  wilayah Republik Indonesia. Selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:     
1.    Desa praja menurut UU No. 19 /65 adalah kesatuan masyarakat  hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah  tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri. Pengertian ini memberikan makna bahwa dea  praja merupakan sebuah daerah  otonom yang dalam undang-undang ini disebutkan sebagai cikal bakal daerah tingkat  III. Pengertian berimplikasi  kepada status desa yang merupakan rangkan dari sistem  penyelenggaraan pemerintahan. Posisi otonomnya desa lebih dikonkritkan dengan adanya  kewenangan yang sangat besar untuk mengatur rumah  tangganya sendiri, tidak hanya  itu saja dalam undang-undang ini desapraja  memiliki kelengkapan badan pemerintahan layaknya Daerah Tingkat I dan II.
2.    Pengertian Desa menurut  UU No. 5 /79 adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah  tangganya sendiri dalam Ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengertian desa menurut undang-undang ini masih diposisikan secara jelas sebagai bagian dari penyelenggaraan pemerintahan akan tetapi keberadannya  bukan lagi sekuat seperti halnya  posisi desa menurut UU 19/65 sebagai daerah tingkat III. Pada undang-undang ini desa merupakan bagian dari penyelenggaraan dibawah pemerintah Kecamatan dan kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri bukan diartikan sebagai “otonomi yang dimilikinya” (dalam Penjelasan   UU 5 /79).
3.    Pengertian Desa menurut UU 22/ 99 adalah  desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut  desa adalah  kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal – usul  dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan Nasional dan  berada di daerah Kabupaten. Dalam undang-undang ini kedudukan desa lebih diarahkan kepada self governing community  yaitu komunitas yang dapat mengatur dirinya  sendiri. Dengan  pemahaman  bahwa desa  memiliki kewenangan untuk  mengatur  dan mengurus  kepentingan masyarakatnya sesuai dengan  kondisi dan sosial budaya  setempat. Oleh  karenanya dalam penerapan undang-undang ini keberadaan desa  mengalami  pergeseran yang sangat kuat yaitu yang selama ini merupakan bagian dari penyelenggaraan pemerintahan bergeser kepada sebuah  komunitas yang dapat mengatur sendiri alias sebagai sebuah komunitas yang mandiri. Bila melihat kondisi Indonesia  nampaknya konsep desa digeser menjadi self governing community merupakan kebijakan yang sangat strategis  dan futuristik untuk menjawab berbagai  permasalahan ke depan. Akan tetapi  yang menjadi masalah saat ini adalah bagaimana mungkin sebagian besar keberadaan desa (khusus dijawa) dari jaman kerajaan, penjajahan sampai saat ini  merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan pemerintahan tiba – tiba harus berubah kepada self governing community. Menurut  penulis kebijakan self governing community hanya dapat dilaksanakan dimana akar budaya masyarakat setempat memang telah  lama melaksanakan model tersebut misalnya pada desa atau sebutan lain di daerah luar jawa yang tradisi dan adat istiadatnya  masih  dihormati dan dipatuhi. Pertanyaan yang muncul  kemudian bagian posisi desa pada  daerah – daerah seperti jawa atau daerah lain yang sudah “melebelkan dirinya” sebagai bagian dari proses penyelenggaraan pemerintahan. Ini sebuah tugas besar dan perlu dikonkritkan pelaksanaanya agar tidak terjadi kegamangan atas kebijakan dimaksud.
4.    Pengertian desa menurut UU 32/2004 adalah desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut  desa adalah  kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal – usul  dan adat istiadat setempat yang diakui dan atau dibentuk dalam sistem pemerintahan Nasional dan  berada di daerah Kabupaten / Kota. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa  adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Dalam undang-undang  ini mengakui otonomi yang dimiliki oleh  desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan  urusan pemerintah tertentu.  Dalam  pengertian desa menurut  undang-undang ini hampir mirip dengan undang-undang  nomor 22/99 akan tetapi pola pergeseran ke arah self governing community tidak langsung dilakukan secara drastis namun kedudukan desa  masih dijadikan  sebagai “alat pemerintah” yang dapat menerima   penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan  urusan pemerintah tertentu. Oleh sebab itu menurut penulis pola penerapan ini  lebih bersifat kolaborasi antara UU 5/79 dengan UU 22/99 yang dilakukan secara seimbang yaitu satu sisi pemerintah khususnya pemerintah daerah melalui intrumen pengaturannya dalam hal ini Perda tidak lagi mendesain  pengaturan tentang keberadaan pemerintahan desa yang “kaku” dalam  arti  dilihat dari  segi organisasi dan tata kerjanya serta peristilahannya, sehingga keberadaan pemerintahan desa akan mengadopsi adat, budaya dan tradisi masyarakat   setempat dengan memperhatikan keanekaragaman dan  menghindari dari primordialime. Kemudian didalam perda pun mendorong desa melalui  pemerintahannya untuk melakukan upaya-upaya yang sistematis dan berproses menuju  self governing community sehingga pada  suatu waktu kedudukan desa dapat menjadi mandiri dan  tidak lagi selalu bertumpu pada bantuan dari pemerintah. Proses menuju  self governing community  merupakan pekerjaan besar yang perlu dilakukan secara bersama-sama dan baik oleh pemerintah, masyarakat dan pemerintah desa itu sendiri, sehingga pada saat diberlakukannya kebijakan self governing community maka keberadaan desa sebagai sebuah  community  dapat berjalan sesuai dengan  harapan yang ingin diwujudkan.
5.    Menurut UU Nomor 6 Tahun 2014 bahwa desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Landasan pemikiran dari pengertian ini adalah Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa Adat. Desa dan Desa Adat pada dasarnya melakukan tugas yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam pelaksanaan hak asal-usul, terutama menyangkut pelestarian sosial Desa Adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli.

C.           Pilihan yang mengandung sebuah Tanggungjawab

Bila dianalisa pengertian – pengertian desa dan posisi desa dalam berbagai perkembangan perundang –undangan yang mengaturnya maka ditemukan ketidakjelasan dan inkonsistensi pemerintah atas keberadaan desa. Dua  hal yang penulis catat adalah pada setiap perundang-undangan baik itu  UU No. 19 /65,   UU No. 5 /79, UU No. 22 /99 dan UU No. 32 /2004 serta UU.6/2014 terdapat berbagai pengertian yang menurut penulis sebagai pengertian yang paradok yaitu di satu sisi pemerintah melihat desa sebagai kesatuan masyarakat hukum dan disisi lain  diposisikan pula sebagai bagian dari penyelenggaraan pemerintahan. Kedua pada sisi ini nampaknya  pemerintah ingin memposisikan desa sebagai bagian yang paling penting dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan.
Model pemerintahan seperti ini nampaknya  perlu waktu untuk diuji keberhasilannya karena kalau diamati melalui berbagai perundang-undangan yang lalu keberadaan desa lebih cendrung dijadikan sebagai bagian dari penyelenggaraan pemerintahan  terendah dibawah camat. Oleh sebab itu khusus untuk di jawa keberadaan desa nampaknya tetap akan menjadi bagian penyelenggaraan pemerintahan dan rasanya sangat sulit untuk memposisikan desa sebagai  self governing community layaknya desa – desa di Eropa dan Amerika yang lepas dari institusi pemerintahan. Konsep  self governing community dapat dilakukan manakala memang akar komunitas tersebut  melakukan sebuah upaya – upaya yang jelas dan diterima oleh komunitasnya. Konsep self governing community ini dapat dilakukan misalnya pada desa – desa adat yang ada diluar jawa misalnya Bali, Sumatera Kalimantan, Slawesi dan Papua akan tetapi pemerintah melalui intrumennya harus pula melakukan sebuah pemberdayaan yang jelas dan terukur sehingga proses menuju self governing community dapat dicapai pada waktu yang ditentukan dan model penyelenggaraan pemerintahan  pada  daerah – daerah yang telah atau mampu mewujudkan  self governing community hanya sampai pada  tingkatan pemerintah Kecamatan.
Selanjutnya amatan penulis khusus untuk jawa nampaknya keberadaan Pemerintah  desa sudah menjadi sebuah tradisi pemerintahan yang tingkat ketergantungan dengan pemerintah lainnya sangat tinggi. Pada situasi seperti ini maka Proses berpemerintahan akan lebih baik apabila pemerintah mengambil alih dan memposisikan  Pemerintah Desa diperlakukan sama dengan pemerintah Kelurahan sehingga asumsi-asumsi berbagai penyelenggaraan kegiatan  pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Akan tetapi pilihan ini nampaknya menjadi sesuatu yang memerlukan kajian cermat  bila dikaitkan dengan ketersediaan anggaran  yang dimiliki.
Oleh karenanya bila membahas tentang kinerja Pemerintahan desa akan sulit diukur dengan instrumen – instrumen atau alat ukur bagi kinerja organisasi pemerintahan lainnya, selain karena model penyelenggaraan sangat unik ditambah lagi dengan sebuah kebingungan yang ada. Kalau boleh diplesetkan apanya yang perlu diukur karena memang tidak terukur.
Menurut  penulis tujuan yang diingin dicapai  dalam PP 43 tahun 2014 tentang Peraturan pelaksanaan Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yaitu bahwa desa dapat menjadi mandiri dalam kontek penyelenggaraan pemerintahan dan menjadi self governing community atau suatu kesatuan masyarakat yang dapat memecahkan  berbagai macam persoalannya sendiri, nampaknya perlu  waktu yang lama  bila dibandingkan dengan realitas wajah pemerintahan desa yang ada  saat ini. Lebih  baik menurut penulis adalah bagimana  upaya – upaya konkrit pemerintah lainnya Kecamatan, Kabupaten/Kota, Propinsi  dan Pusat melakukan suatu kegiatan yang dapat  mendorong Pemerintahan desa untuk lebih maju baik ditinjau dari aspek kelembagaan, kemampuan  untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab, dan memberikan pelayanan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki kepada masyarakatnya serta mampu memecahkan persoalan yang dihadapi sesuai dengan apa yang dimilikinya.

D.           Perlunya Sebuah Perubahan Paradigma Dalam Melihat Desa Sebagai Bagian dari Penyelenggaraan Pemerintahan

Bila memang Pemerintah mempunyai komitment untuk mendudukkan desa sebagai bagian dari penyelenggaraan Pemerintahan dengan cara memberikan  lebel “Pemerintahan Desa” maka diperlukan sebuah perubahan  paradigma berfikir dalam melihat  desa sebagai  bagian dalam penyelenggaraan pemerintahan.  Paradigma  berfikir  yang penulis maksudkan adalah bahwa Setiap  Pemerintah lainnya mulai dari Kecamatan, Kabupaten / Kota, Propinsi, Pemerintah Pusat harus memperhatikan  desa secara utuh. Dalam arti utuh adalah adanya keseimbangan antara  kewajiban – kewajiban yang harus dipikul oleh pemerintah desa dengan hak – hak yang harus diterima oleh pemerintah desa. Jangan lagi  melihat Pemerintah desa dari sudut kewajiban belaka hanya sebagai alat pemerintah yang harus mensukseskan berbagai macam program pemerintahan tanpa melihat dari sisi kemampuan dan dukungan yang  diterimanya.  Banyak hal yang selama  ini dilakukan oleh  Pemerintah Desa dalam rangka menjalankan roda pemerintahan terutama hal – hal yang berkaitan  dengan sosialisasi berbagai macam program. Oleh karena itu sudah saatnya pula difikirkan kembali berbagai hal yang dapat dilakukan agar Pemerintah desa dapat berjalan sesuai dengan keinginan bersama  yaitu pemerintahan yang dapat memecahkan berbagai persoalan atau masalah bagi masyarakatanya.
     Sebuah perubahan  menjadi desa mandiri jangan disalah artikan bahwa Pemerintah lainnya menjadi tidak bertanggungjawab untuk kelangsungan atas penyelenggaraan pemerintahan desa malah seharusnya   pemerintah laiinya mencoba mendorong dan membangkitkan semangat bagi pemerintah desa untuk manju dan bangkit serta berbenah diri sehingga wajah pemerintahan desa memang  dapat menjadi  citra pemerintahan lainnya dimata masyarakat.
===========Semoga dapat terwujud================





DAFTAR PUSTAKA


Buku – Buku 

Hikmat Harry, 2001, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung : 
Humaniora Utama Press

Payne Malcolm,1986, Social Care in The Community, London : Macmilan

Raysid Ryaas, 2002, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Jakrta :  Pustaka
Pelajar.

Usman Sunyoto,  2003, Pembangunan dan Perberdayaan Masyarakat,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.


Peraturan Perundang – Undangan

Undang-Undang Nomor UU No. 19 /65  tentang  Desa Praja sebagai bentuk peralihan untuk    mempercepat terwujudnya daerah tingkat III di seluruh  wilayah Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Undang Nomor 32 tahun  2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang - Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Peraturan Pemerintah nomor 43 tn 2014 tentang Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang - Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa


Tidak ada komentar:

Posting Komentar