OLEH: DR. H. RACHMAT MAULANA S.SOS M.SI
A. Pendahuluan
Berbagai perundang-undangan yang mengatur tentang
kedudukan desa di negeri ini telah mengalami berbagai perubahan seiring dengan
perubahan – perubahan suasana politik yang mengirinya. Posisi desa selalu hangat diperdebatkan tergantung dari dan apa
kepentingan yang melatarbelakanginya. Padahal dalam kontek sosiologis desa atau kota ditujukan
sebagai suatu tempat atau suatu kesatuan masyarakat hukum yang
tergantung dimana masyarakat itu berada. Diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum karena baik desa maupun kota memiliki sistem
nilai yang berbeda – beda satu sama lain sehingga keberadaan kota atau desa memiliki difinisi yang berbeda
satu sama lainnya.
Meskipun
dari tinjauan aspek sosiologis secara konsepsional definisi desa dan kota sangatlah berbeda namun menurut pandangan penulis bahwa konsepsi desa
dan kota memiliki porsi yang seimbang dalam arti tekanan pendalaman pada aspek sosiologis melihat desa dan kota dari dalam kontek
perkembangan dan dinamika masyarakatnya.
Akan tetapi bila melihat dari aspek pemerintahan maka kata desa atau
kota memiliki implikasi penanganan yang sangat berbeda. Kalau saya melihat
khusus untuk desa terdapat ketidakjelasan kedudukan desa. Dalam arti pada waktu
yang sama desa diposisikan menjadi
sebuah komunitas dan merupakan bagian dari
penyelenggaraan pemerintahan. Desa diasumsikan oleh faktor sosial budaya
yang sangat beraneka ragam satu sama
lainnya sehingga keberadaan desa oleh penguasa ingin diakomodir dalam sebuah
bingkai Negara Kesatuan. Wal hasil desa yang pada awalnya merupakan sebuah
komunitas ingin dipertahankan akan tetapi secara de facto kondisi desa khususnya dijawa lebih mengarah kepada bagian
dari penyelenggaraan pemerintahan.
Sedangkan kota lebih jelas karena keberadaan kota pasti diurus oleh suatu
lembaga pemerintahan, yang namanya
Kelurahan.
Pertanyaan
yang muncul adalah apa hanya berbeda nama yaitu kalau di desa pemerintahannya namanya Pemerintah
Desa dan kalau di kota namanya Pemerintah Kelurahan. Kalau hanya nama mengapa
harus dibicarakan akan tetapi implikasi dari nama tersebut
menjadi sangat serius bila dilihat dari
tugas – tugas pemerintahan kepada rakyatnya. Kejelasan Desa dalam aspek
pemerintahan semestinya sama dengan
kejelasan Kelurahan dalam arti berbagai instrumen yaitu personil, fasilitas,
anggaran, kewenangan, standar pelayanan harus benar - benar menjadi
tanggungjawab yang memberikan lebel sebagai bagian dari penyelenggaraan pemerintahan. Kalau tidak terjadi standar
ganda dalam hal pemberian pelayanan dan
penyelenggaraan pemerintahan. Padahal kalau memang Pemerintah Desa dan Kelurahan
dijadikan organ pemerintahan yang paling dekat dengan masyarakat maka
wajah atau sosok Pemerintah Desa dan Kelurahan dalam melayani masyarakat akan
menjadi sebuah citra yang dapat dipertaruhkan.
B. Sebuah Peristilahan yang mengandung konsekuensi
Kalau memang desa
dilebelkan pula kata Pemerintah maka
kata Pemerintah Desa menjadi suatu konsekuensi yang sangat besar untuk ditanggung oleh pemberi kata itu
yaitu “Pemerintah”. Karena kata Pemerintah Desa, Pemerintah Kecamatan,
Pemerintah Kabupaten/Kota, Pemerintah
Porpinsi dan Pemerintah Pusat sama - sama
mengandung tanggungjawab antara pemerintah dengan
yang diberi perintah, antara penguasa dengan rakyatnya, antara pelayanan dengan
konsumennya. Konsekuensi ini berimplikasi
kepada hal – hal yang selama ini terjadi pada Pemerintah yang lain akan
tetapi pada pemerintah Desa jangan –
jangan hanya sebuah nama yang berarti
sebuah lebel “Kekuasaan belaka”. Mengapa penulis katakan demikian karena
fakta membuktikan apa yang dapat
dilakukan oleh Pemerintah Desa sementara lebih banyak masalah dan keterbatasan
yang dimilikinya dibanding dengan kemampuan, potensi yang dimilikinya dan bantuan yang diterimanya. Rasanya sulit
bagi sebuah pemerintahan yang berjalan tanpa dukungan sumberdaya yang jelas,
ibarat orang pergi berperang tanpa memiliki senjata yang berarti.
Bila
membanding banyaknya kata Pemerintah Desa dengan Kata Pemerintah Kelurahan di Negara ini pasti
jawabannya lebih banyak kata Pemerintah Desa akan tetapi bagaimana implementasi kata itu apabila
dikaitkan dengan keberadaannya ditengah
– tengah masyarakat, padahal Rasyid mengatakan
(2002:23) bahwa kehadiran suatu pemerintahan harus dapat memberikan
nilai manfaat bagi rakyatnya. Sebuah ironi atas keberadaan suatu
pemerintahan yang dari tahun ketahun berjalan tanpa adanya suatu upaya –
upaya yang jelas dan terukur untuk menyelesaikan
berbagai bagai macam persoalan masyarakat dan meningkatkan taraf hidupya.
Penulis
berpendapat bahwa kata Pemerintah Desa mengandung konsekuensi yang sangat
serius dan berimplikasi ke berbagai hal yaitu:
1. Bahwa secara vertikal kata “pemerintah desa” sangat berkaitan erat dengan kata pemerintah yang lain sehingga secara
struktural kata itu tidak boleh dilepaskan begitu saja bila kita menganut faham
negara kesatuan maka keterkaitan antara pemerintah Desa dengan pemerintah yang lain harus “ditegaskan”,
bukan hanya sekedar “diakui”. Kata
“diakui” hanya sebatas pengakuan sedangkan
kata “bagian” mempunyai penegasan tanggungjawab dari pemerintah
atasannya.
2.
Bila merujuk kepada faham konsumerisme dimana pemerintah Pusat sampai ke daerah
saat ini sedang giat - giatnya mendesain
berbagai standar pelayanan akan diberikan kepada rakyatnya karena rakyat
dianggap sebagai “konsumer” produk
pemerintahan dan pemerintah sebagai “produser atau penghasil” dari produk
tersebut maka perlakukan kata “pemerintah desa” harus disamakan pula dengan perlakukan yang akan diberikan
kepada pemerintah lainnya. Dalam arti
standar pelayanan harus pula diberlakukan
kepada Pemerintah desa karena
pemerintah desa memiliki tanggungjawab
pelayanan pemerintahan kepada masyarakat diwilayahnya.
3.
Sebuah ironi bila melihat kata pemerintah desa dalam hal kesiapan aparat
dibandingkan dengan kata pemerintah lainnya. Pada kata pemerintahan
lainnya Pola rekrutment dan model pengembangan karier yang jelas serta sistem penggajian yang jelas akan
tetapi bila melihat kata pemerintahan desa semua serba tidak jelas.
Dengan demikian sebuah renungan untuk kita para pemerhati pemerintahan
bagaimana mungkin yang serba tidak jelas akan menjalankan roda pemerintahan
dengan standar – standar yang baku dan jelas. Oleh karenanya sebuah konsekuensi
logis bila kata pemerintahan desa akan dilaksanakan maka terdapat sebuah tugas
besar untuk bersama-sama memikirkan dan
membuat formulasi kebijakan yang secara kongkrit yang dapat dilaksanakan sehingga
kata pemerintahan desa dapat berjalan
sama halnya dengan pemerintahan lainnya.
B. Perkembangan Definisi Desa Dalam Berbagai Perundang – Undangan
Dalam pembahasan ini penjelasan definisi tentang desa dibatasi mulai
dari UU No. 19 /65 sampai dengan UU No.
32/2004, hal ini didasarkan bahwa
peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang keberadaan desa
yang dibuat oleh Negara Indonesia
adalah UU No. 19 /65 tentang
Desa Praja sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya daerah tingkat III
di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Desa
praja menurut UU No. 19 /65 adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya,
berhak mengurus rumah tangganya sendiri,
memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri. Pengertian ini
memberikan makna bahwa dea praja
merupakan sebuah daerah otonom yang
dalam undang-undang ini disebutkan sebagai cikal bakal daerah tingkat III. Pengertian berimplikasi kepada status desa yang merupakan rangkan
dari sistem penyelenggaraan
pemerintahan. Posisi otonomnya desa lebih dikonkritkan dengan adanya kewenangan yang sangat besar untuk mengatur
rumah tangganya sendiri, tidak
hanya itu saja dalam undang-undang ini
desapraja memiliki kelengkapan badan
pemerintahan layaknya Daerah Tingkat I dan II.
2.
Pengertian
Desa menurut UU No. 5 /79 adalah suatu
wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat
termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi
pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan
rumah tangganya sendiri dalam Ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengertian desa menurut undang-undang ini
masih diposisikan secara jelas sebagai bagian dari penyelenggaraan pemerintahan
akan tetapi keberadannya bukan lagi
sekuat seperti halnya posisi desa
menurut UU 19/65 sebagai daerah tingkat III. Pada undang-undang ini desa
merupakan bagian dari penyelenggaraan dibawah pemerintah Kecamatan dan
kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri bukan diartikan sebagai
“otonomi yang dimilikinya” (dalam Penjelasan
UU 5 /79).
3.
Pengertian
Desa menurut UU 22/ 99 adalah desa atau
yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal – usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam
sistem pemerintahan Nasional dan berada
di daerah Kabupaten. Dalam undang-undang ini kedudukan desa lebih diarahkan
kepada self governing community yaitu
komunitas yang dapat mengatur dirinya
sendiri. Dengan pemahaman bahwa desa
memiliki kewenangan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan sosial budaya setempat. Oleh karenanya dalam penerapan undang-undang ini
keberadaan desa mengalami pergeseran yang sangat kuat yaitu yang selama
ini merupakan bagian dari penyelenggaraan pemerintahan bergeser kepada
sebuah komunitas yang dapat mengatur
sendiri alias sebagai sebuah komunitas yang mandiri. Bila melihat kondisi
Indonesia nampaknya konsep desa digeser
menjadi self governing community merupakan kebijakan yang sangat strategis dan futuristik untuk menjawab berbagai permasalahan ke depan. Akan tetapi yang menjadi masalah saat ini adalah
bagaimana mungkin sebagian besar keberadaan desa (khusus dijawa) dari jaman
kerajaan, penjajahan sampai saat ini
merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan pemerintahan tiba – tiba
harus berubah kepada self governing community. Menurut penulis kebijakan self governing community
hanya dapat dilaksanakan dimana akar budaya masyarakat setempat memang
telah lama melaksanakan model tersebut
misalnya pada desa atau sebutan lain di daerah luar jawa yang tradisi dan adat
istiadatnya masih dihormati dan dipatuhi. Pertanyaan yang
muncul kemudian bagian posisi desa
pada daerah – daerah seperti jawa atau
daerah lain yang sudah “melebelkan dirinya” sebagai bagian dari proses
penyelenggaraan pemerintahan. Ini sebuah tugas besar dan perlu dikonkritkan
pelaksanaanya agar tidak terjadi kegamangan atas kebijakan dimaksud.
4.
Pengertian
desa menurut UU 32/2004 adalah desa atau yang disebut dengan nama lain,
selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas-batas wilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal – usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan
atau dibentuk dalam sistem pemerintahan Nasional dan berada di daerah Kabupaten / Kota. Landasan
pemikiran dalam pengaturan mengenai desa
adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan
pemberdayaan masyarakat. Dalam undang-undang
ini mengakui otonomi yang dimiliki oleh
desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah
desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun
pemerintah daerah untuk melaksanakan
urusan pemerintah tertentu. Dalam pengertian desa menurut undang-undang ini hampir mirip dengan
undang-undang nomor 22/99 akan tetapi
pola pergeseran ke arah self governing community tidak langsung dilakukan
secara drastis namun kedudukan desa
masih dijadikan sebagai “alat
pemerintah” yang dapat menerima
penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah
untuk melaksanakan urusan pemerintah
tertentu. Oleh sebab itu menurut penulis pola penerapan ini lebih bersifat kolaborasi antara UU 5/79
dengan UU 22/99 yang dilakukan secara seimbang yaitu satu sisi pemerintah
khususnya pemerintah daerah melalui intrumen pengaturannya dalam hal ini Perda
tidak lagi mendesain pengaturan tentang
keberadaan pemerintahan desa yang “kaku” dalam
arti dilihat dari segi organisasi dan tata kerjanya serta
peristilahannya, sehingga keberadaan pemerintahan desa akan mengadopsi adat,
budaya dan tradisi masyarakat setempat
dengan memperhatikan keanekaragaman dan
menghindari dari primordialime. Kemudian didalam perda pun mendorong
desa melalui pemerintahannya untuk
melakukan upaya-upaya yang sistematis dan berproses menuju self governing community sehingga pada suatu waktu kedudukan desa dapat menjadi
mandiri dan tidak lagi selalu bertumpu
pada bantuan dari pemerintah. Proses menuju
self governing community
merupakan pekerjaan besar yang perlu dilakukan secara bersama-sama dan
baik oleh pemerintah, masyarakat dan pemerintah desa itu sendiri, sehingga pada
saat diberlakukannya kebijakan self governing community maka keberadaan desa
sebagai sebuah community dapat berjalan sesuai dengan harapan yang ingin diwujudkan.
5.
Menurut
UU Nomor 6 Tahun 2014 bahwa desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama
lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,
dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Landasan pemikiran dari pengertian ini
adalah Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan
local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang
selama ini merupakan bagian dari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa menjadi
Desa dan Desa Adat. Desa dan Desa Adat pada dasarnya melakukan tugas yang
hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam pelaksanaan hak asal-usul,
terutama menyangkut pelestarian sosial Desa Adat, pengaturan dan pengurusan
wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban
bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan
berdasarkan susunan asli.
C. Pilihan yang mengandung sebuah Tanggungjawab
Bila
dianalisa pengertian – pengertian desa dan posisi desa dalam berbagai
perkembangan perundang –undangan yang mengaturnya maka ditemukan ketidakjelasan
dan inkonsistensi pemerintah atas keberadaan desa. Dua hal yang penulis catat adalah pada setiap
perundang-undangan baik itu UU No. 19
/65, UU No. 5 /79, UU No. 22 /99 dan UU
No. 32 /2004 serta UU.6/2014 terdapat berbagai pengertian yang menurut penulis
sebagai pengertian yang paradok yaitu di satu sisi pemerintah melihat desa
sebagai kesatuan masyarakat hukum dan disisi lain diposisikan pula sebagai bagian dari
penyelenggaraan pemerintahan. Kedua pada sisi ini nampaknya pemerintah ingin memposisikan desa sebagai
bagian yang paling penting dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan.
Model
pemerintahan seperti ini nampaknya perlu
waktu untuk diuji keberhasilannya karena kalau diamati melalui berbagai
perundang-undangan yang lalu keberadaan desa lebih cendrung dijadikan sebagai
bagian dari penyelenggaraan pemerintahan
terendah dibawah camat. Oleh sebab itu khusus untuk di jawa keberadaan
desa nampaknya tetap akan menjadi bagian penyelenggaraan pemerintahan dan
rasanya sangat sulit untuk memposisikan desa sebagai self governing community layaknya desa – desa
di Eropa dan Amerika yang lepas dari institusi pemerintahan. Konsep self governing community dapat dilakukan
manakala memang akar komunitas tersebut
melakukan sebuah upaya – upaya yang jelas dan diterima oleh komunitasnya.
Konsep self governing community ini dapat dilakukan misalnya pada desa – desa
adat yang ada diluar jawa misalnya Bali, Sumatera Kalimantan, Slawesi dan Papua
akan tetapi pemerintah melalui intrumennya harus pula melakukan sebuah
pemberdayaan yang jelas dan terukur sehingga proses menuju self governing
community dapat dicapai pada waktu yang ditentukan dan model penyelenggaraan
pemerintahan pada daerah – daerah yang telah atau mampu
mewujudkan self governing community
hanya sampai pada tingkatan pemerintah
Kecamatan.
Selanjutnya
amatan penulis khusus untuk jawa nampaknya keberadaan Pemerintah desa sudah menjadi sebuah tradisi
pemerintahan yang tingkat ketergantungan dengan pemerintah lainnya sangat
tinggi. Pada situasi seperti ini maka Proses berpemerintahan akan lebih baik
apabila pemerintah mengambil alih dan memposisikan Pemerintah Desa diperlakukan sama dengan
pemerintah Kelurahan sehingga asumsi-asumsi berbagai penyelenggaraan
kegiatan pemerintahan dapat berjalan
dengan baik. Akan tetapi pilihan ini nampaknya menjadi sesuatu yang memerlukan
kajian cermat bila dikaitkan dengan
ketersediaan anggaran yang dimiliki.
Oleh
karenanya bila membahas tentang kinerja Pemerintahan desa akan sulit diukur
dengan instrumen – instrumen atau alat ukur bagi kinerja organisasi
pemerintahan lainnya, selain karena model penyelenggaraan sangat unik ditambah
lagi dengan sebuah kebingungan yang ada. Kalau boleh diplesetkan apanya yang
perlu diukur karena memang tidak terukur.
Menurut penulis tujuan yang diingin dicapai dalam PP 43 tahun 2014 tentang Peraturan
pelaksanaan Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yaitu bahwa desa
dapat menjadi mandiri dalam kontek penyelenggaraan pemerintahan dan menjadi
self governing community atau suatu kesatuan masyarakat yang dapat
memecahkan berbagai macam persoalannya
sendiri, nampaknya perlu waktu yang lama bila dibandingkan dengan realitas wajah
pemerintahan desa yang ada saat ini.
Lebih baik menurut penulis adalah
bagimana upaya – upaya konkrit
pemerintah lainnya Kecamatan, Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat melakukan suatu kegiatan yang dapat mendorong Pemerintahan desa untuk lebih maju
baik ditinjau dari aspek kelembagaan, kemampuan
untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab, dan memberikan pelayanan
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki kepada masyarakatnya serta mampu
memecahkan persoalan yang dihadapi sesuai dengan apa yang dimilikinya.
D. Perlunya Sebuah Perubahan Paradigma Dalam Melihat Desa Sebagai Bagian dari Penyelenggaraan Pemerintahan
Bila memang Pemerintah mempunyai
komitment untuk mendudukkan desa sebagai bagian dari penyelenggaraan
Pemerintahan dengan cara memberikan
lebel “Pemerintahan Desa” maka diperlukan sebuah perubahan paradigma berfikir dalam melihat desa sebagai
bagian dalam penyelenggaraan pemerintahan. Paradigma
berfikir yang penulis maksudkan
adalah bahwa Setiap Pemerintah lainnya
mulai dari Kecamatan, Kabupaten / Kota, Propinsi, Pemerintah Pusat harus memperhatikan desa secara utuh. Dalam arti utuh adalah
adanya keseimbangan antara kewajiban –
kewajiban yang harus dipikul oleh pemerintah desa dengan hak – hak yang harus
diterima oleh pemerintah desa. Jangan lagi
melihat Pemerintah desa dari sudut kewajiban belaka hanya sebagai alat
pemerintah yang harus mensukseskan berbagai macam program pemerintahan tanpa
melihat dari sisi kemampuan dan dukungan yang
diterimanya. Banyak hal yang
selama ini dilakukan oleh Pemerintah Desa dalam rangka menjalankan roda
pemerintahan terutama hal – hal yang berkaitan
dengan sosialisasi berbagai macam program. Oleh karena itu sudah saatnya
pula difikirkan kembali berbagai hal yang dapat dilakukan agar Pemerintah desa
dapat berjalan sesuai dengan keinginan bersama
yaitu pemerintahan yang dapat memecahkan berbagai persoalan atau masalah
bagi masyarakatanya.
Sebuah
perubahan menjadi desa mandiri jangan
disalah artikan bahwa Pemerintah lainnya menjadi tidak bertanggungjawab untuk
kelangsungan atas penyelenggaraan pemerintahan desa malah seharusnya pemerintah laiinya mencoba mendorong dan
membangkitkan semangat bagi pemerintah desa untuk manju dan bangkit serta
berbenah diri sehingga wajah pemerintahan desa memang dapat menjadi
citra pemerintahan lainnya dimata masyarakat.
===========Semoga
dapat terwujud================
DAFTAR PUSTAKA
Buku –
Buku
Hikmat Harry, 2001, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung
:
Humaniora Utama Press
Payne Malcolm,1986, Social Care in The Community, London :
Macmilan
Raysid Ryaas, 2002, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Jakrta
: Pustaka
Pelajar.
Usman Sunyoto, 2003, Pembangunan
dan Perberdayaan Masyarakat,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Peraturan Perundang –
Undangan
Undang-Undang
Nomor UU No. 19 /65 tentang
Desa Praja sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya daerah tingkat III
di seluruh wilayah Republik Indonesia
Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
Undang - Undang Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa
Peraturan
Pemerintah nomor 43 tn 2014 tentang Tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang - Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar