Oleh : Dr. H. Rachmat Maulana S.Sos,
M.Si
A.
Latar
Belakang
Istilah Pemberdayaan atau Empowerment menjadi sebuah
istilah yang pernah popular ditengah – tengah masyarakat Indonesia terutama
pada saat terjadinya krisis moneter yang
berimbas kepada krisis yang bersifat multidimensi. Kata “Pemberdayaan” sering dirangkaikan
dengan kata lain seperti kata organisasi, birokrasi, dan kata-kata lain tidak ketinggalan pula kata masyarakat.
Banyak
orang memaknai istilah Pemberdayaan dari satu sudut pandang sesuai dengan kepentingannya. Namun istilah Pemberdayaan sebenarnya memiliki aspek yang
sangat luas sehingga menjelaskan istilah
Pemberdayaan harus digunakan berbagai konsep dan teori dari berbagai
pakar yang memang ahli dibidangnya. Oleh karena itu menjelasakan Istilah Pemberdayaan masyarakat dari sudut pandang teoritis diperlukan seuatu
ketajaman analisa sehingga istilah Pemberdayaan masyarakat dapat dikonkritkan
menjadi suatu konsep yang diukur dan
dapat pula dilihat dari berbagaimacam indikatornya sehingga istilah Pemberdayaan masyarakat menjadi suatu
istilah yang dapat digambarkan secara
jelas.
Ide
pemikiran tentang bahasan pemberdayaan
masyarakat berangkat pada keberadaan manusia sebagai sebuah sumber daya. Aspek
dari sumber daya manusia yaitu pertama sumber daya dan manusia. Menurut Ndraha
(2003:184) Sumber daya bermakna sebagai kekayaan suatu bangsa yang menjadi
modal bagi kejayaan masa depan. Sedangkan
nilai sumber daya menurut Menurut
Ndraha (2003:184) sebagai kekuatan pengikat, penggerak atau pola perilaku
suatu masyarakat menjadi sebuah bangsa
yang harus terus menerus dipelihara. Kemudian makna manusia adalah mahluk tuhan
yang diciptakan memiliki kemampuan
berfikir yang sangat tinggi, bakat serta naluri untuk meningkatkan kualitas
hidupnya dibandingkan dengan mahluk
ciptaan Tuhan lainnya.
Sumber daya Manusia
menurut Yusuf Suit dan Almasdi
(1995:32) adalah sebagai Kekuatan daya pikir dan berkarya manusia yang
masih tersimpan dalam dirinya yang perlu dibina dan digali serta dikembangkan
untuk dimanfaatkan sebaik – baiknya bagi kesejahteraan kehidupan manusia.
Dengan demikian sumber daya manusia harus
selalu dikembangkan menuju kepada kehidupan manusia yang kualitas yang
diharapkan sesuai dengan taraf perkembangan zaman dimana manusia itu
hidup.
Realtitas yang terjadi di Indoensia, bahwa untuk
meningkatkan kualitas hidup manusia dilakukan berbagai kegiatan yang
selalu diberikan lebel yaitu
“Pembangunan”. Akan tetapi aspek pembangunan
yang dilakukan lebih kepada pembangunan yang bersifat ekonomi yang
bertujuan untuk meningkatkan derajat kehidupan manusia dari sisi materill,
jasmani dan untuk memenuhi kebutuhan
hidup dengan stadar ukur ekonomi belaka. Asumsi – asumsi pertumbuhan dan
pemerataan menjadi suatu pendekatan
pembangunan ekonomi yang dijalankan tanpa melihat dari sisi lain seperti
aspek sosial budaya dan ketersediaan
sumber daya manusia yang dimiliki. Akibatnya ketidakmerataan terjadi antar
masyarakat, antar daerah, bahkan terjadi sebuah kawasan yang menimbulkan dua kutub yang berbeda
misalnya kutub barat dan timur, Jawa
dan luar Jawa. Perbedaan –
perbedaan yang terjadi membawa kepada implikasi yang sangat serius dan perlu
mendapat perhatian dari pemerintah
sebagai disainer dan pemrakarsa pembangunan itu sendiri.
Tidak seimbangnya pembangunan ekonomi di satu sisi
dengan pembangunan non ekonomi di sisi yang lain harus di akui telah
meningkatkan pertumbuhan dan kemajuan, tetapi berdampak pada tidak meratanya
distribusi pendapatan, melajunya kesenjangan, perbedaan antara yang kaya dan
yang miskin, antara ekonomi kuat dan ekonomi lemah, dan juga kesenjangan antar
daerah.
Permasalahan utama menurut penulis
sehingga terjadinya kesenjangan itu oleh karena dalam kurun waktu yang cukup
lama orientasi pembangunan lebih menitik beratkan kepada pembangunan ekonomi dan
mengabaikan pembangunan lainnya. Oleh karenanya, pembangunan tidak hanya
melihat dari kontribusi pemikiran ahli-ahli ekonomi semata, tetapi
pemikiran-pemikiran para pakar dari berbagai disiplin ilmu lainnya perlu
diperhatikan dalam perumusan dan pengambilan keputusan, sehingga kata-kata
kunci dalam ukuran sosial ekonomi masyarakat seperti : kualitas manusia,
kualitas masyarakat, ukuran maju, ukuran mandiri, suasana tentram, dan
sejahtera lahir dan bathin menjadi jelas, baik bagi masyarakat dan juga
terlebih bagi pemerintah dalam memacu pembangunan sosial ekonomi.
Kenyataan-kenyataan
empirik membuktikan juga bahwa kesejahteraan ekonomi tidak dapat menjamin
kesejahteraan sosial, namun kondisi sosial dan budaya yang baik akan memberikan
situasi ekonomi yang baik. Hal ini secara tajam dikemukakan oleh Jhingan (2000 : 55) bahwa :
Kenaikan pendapatan nasional tidak akan
membawa kenaikan kesejahteraan sosial, jika kenaikan pendapatan itu kurang
dibarengi dengan penyesuaian budaya. Wawasan sosial budaya masyarakat haruslah
diubah jikalau pembangunan diharapkan dapat berjalan. Manakala terdapat
hambatan sosial yang menghalangi kemajuan ekonomi, hambatan tersebut harus
disingkirkan atau disesuaikan. Organisasi sosial seperti keluarga bersama,
sistem kasta, warna kulit, dogma agama dan kehidupan desa harus di modifikasi
sehingga selaras dengan pembangunan. Setiap perubahan budaya atau sosial akan
membawa ketidakpuasan dan perlawanan di belakangnya, yang karena itu dapat
berpengaruh buruk pada perekonomian. Karena kesejahteraan ekonomi hanyalah
merupakan sebagian saja dari kesejahteraan sosial pada umumnya, maka yang
terakhir inilah yang harus mendapatkan perhatian utama.
Dimensi
manusia dan kemanusiaan merupakan faktor yang paling menentukan situasi dan
kondisi yang harmonis dalam sistem kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Paradigma
pertumbuhan sosial ekonomi ditinjau dari konsep Pembangunan "growth
paradigm" menimbulkan kelompok negara maju dan negara berkembang.
Untuk mengejar ketinggalan sosial ekonominya, negara-negara berkembang
menerapkan konsep paradigma pertumbuhan yang ditandai oleh meningkatkatnya
pertumbuhan pendapatan nasional (gross national product). Peningkatan
GNP ternyata tidak menjamin meratanya distribusi pendapatan nasional dan
harapan "trickle down effect"
bahkan belum berhasil mengatasi dan menghapus kemiskinan.
pengangguran, ketimpangan, ketidakberdayaan (Powerlessness), kerapuhan (vulnerability),
kelemahan fisik (phisycal weakness), dan keterasingan (isolation).
Dalam konsepsi ini menurut Kartasasmita ( 1996: 135) bahwa :
bahkan yang terjadi di banyak negara
berkembang, pembangunan justru mengakibatkan kesenjangan sosial ekonomi yang
melebar. Hal ini disebabkan oleh karena meskipun pendapatan dan konsumsi makin
meningkat, kelompok masyarakat yang sudah baik keadaannya dan lebih mampu,
lebih dapat memanfaatkan kesempatan, antara lain karena posisinya yang
menguntungkan (privileged) sehingga akan memperoleh semua atau sebagian
besar hasil pembangunan. Dengan demikian, yang kaya makin kaya dan yang miskin
tetap miskin bahkan dapat menjadi lebih miskin.
Dari pandangan dan pemikiran Kartasasmita
itu, persoalan mendasarnya adalah pertumbuhan ekonomi yang begitu cepat tidak
diimbangi oleh kemajuan masyarakat di bidang sosial dan bidang budaya sehingga
kecenderungan sosial yang terjadi adalah harkat dan martabat manusia
terabaikan, kepercayaan masyarakat akan diri mereka sendiri rendah serta
wawasan tranformasi sosial yang terus melemah. Dalam konteks ini menurut Tjokrowinoto
(1996 : 95) bahwa :
Manifestasi
dampak sosial dari pembangunan yang menekankan pada pembangunan ekonomi amat
bervariasi, antara lain terjadinya konsentrasi dan marginalisasi kekayaan dan
kekuasaan , terjadinya proses unidimensionalisasi manusia yang cenderung
memandang manusia sebagai salah satu faktor produksi semata-mata, timbulnya
dependensi masyarakat yang terlalu besar, baik pada birokrasi maupun proyek,
ketidakberdayaan masyarakat menjadi delivered development, disparitas
struktural maupun regional dan sebagainya.
Dari argumentasi diatas dapat dikemukakan
bahwa ada kecenderungan awal di negara-negara berkembang termasuk Indonesia
dimana dimensi pembangunan ekonomi dan dimensi pembangunan politik menduduki posisi
sentral dalam pembangunan nasional. Kedua dimensi itu telah memarjinalkan
potensi manusia yang memiliki nilai-nilai yang harus dihargai, baik
kapasitasnya sebagai individu maupun makhluk sosiai. Ketidak arifan ini telah
menimbulkan dampak-dampak yang kurang menguntungkan secara sosial sebagaimana
yang dapat disaksikan saat ini. Argumentasi tentang pentingnya aspek-aspek
sosial dari pada aspek ekonomi dikemukakan oleh Rachbini (2002: 179)
bahwa:
pengakuan sosial dan hubungan-hubungan kekerabatan
yang sangat erat mengalahkan hubungan-hubungan lainnya yang bersifat
ekonomistik. Karena itu kebutuhan akan kebanggaan sosial dinilai lebih menonjol
dibandingkan kepentingan ekonomi. Dengan kata lain, motif moral dan tindakan
sosial menjadi dasar paling tepat untuk mengarahkan keputusan-keputusan yang
diambil. Soal-soal yang berkaitan dengan masalah ekonomi dianggap sebagai
persoalan sekunder, yang tidak lebih diutamakan.
Konstruksi
tersebut sangat beralasan jika penulis melihat suatu keadaan masyarakat yang
secara ekonomi cukup bahkan berlebihan, tetapi kehidupan mereka penuh dengan
kecemasan, kegelisahan dan tidak memiliki kehidupan yang tentram dan aman.
Suasana kehidupan yang sarat dengan ketidakharmonisan ini ditandai oleh
pandangan keseharian yang dapat dilihat seperti : penyebaran isu dan fitnah
antar sesama, unjuk rasa dan demonstrasi yang tidak rnanusiawi dan beragam
fenomena atau gejala-gejala sosial yang kurang baik.
Tindakan-tindakan
yang memungkinkan masyarakat atau unit sosial untuk meningkatkan kemampuannya
mengubah masa depan mereka yang dilakukan atas pilihan mereka sendiri
merupakan upaya-upaya yang
sangat positip agar mereka dapat berdaya. Oleh karena itu, konsepsi pembangunan
pada dasarnya sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat untuk
mengendalikan masa depan. Menurut Ndraha (1987 : 35) bahwa :
Pembangunan sebagai peningkatan kemampuan untuk
mengendalikan masa depan mengandung beberapa implikasi. Pertama, kemampuan
(capacity). Tanpa kemampuan, seseorang tidak akan dapat
mempengaruhi masa depannya. Kemampuan disini meliputi kemampuan fisik, mental
dan spritual. Kedua, Kebersamaan (equity) atau keadilan
sosial, pembangunan berarti pemerataan. Bagaimanapun tingginya laju pertumbuhan
suatu bangsa, jika kemajuan tidak merata, hal itu sia-sia belaka. Ketiga,
Kekuasaan (Empowerment), kelemahan atau ketidakberdayaan (powerlesness)
merupakan kondisi manusia yang fatal, terutama dalam konteks politis. Empowerment
berarti pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk secara bebas memilih
berbagai alternatif sesuai dengan tingkat kesadaran, kemampuan dan keinginan
mereka, dan memberi mereka kesempatan untuk belajar, baik dari keberhasilan
maupun kegagalan mereka dalam memberi respons terhadap perubahan. Keempat, ketahanan
atau kemandirian (sustainable), implikasi ini mengandung arti
yang luas, karena faktor-faktor pembangunan terbatas adanya, sementara tuntutan
kebutuhan semakin meningkat, maka sumber-sumber yang ada haruslah dapat
dikelola sedemikian rupa sehingga pada suatu saat masyarakat yang bersangkutan
mampu berkembang secara mandiri dan sanggup merebut sukses berikut. Kelima, kesalingtergantungan
(interdependence), interdependensi itu sangat menguntungkan jika
masyarakat telah memiliki ketahanan dan kemandirian.
Oleh karena itu diperlukan suatu upaya
pembangunan masyarakat yang lebih tajam, terencana dan sistematis dalam
menempatkan masyarakat sebagai subyek yang benar-benar berperan dan memiliki
harkat dan martabat sebagai manusia. Ide dan gagasan yang menempatkan manusia
atau masyarakat lebih sebagai subyek dari dunianya sendiri yang
mendasari lahirnya pendekatan pemberdayaan masyarakat.
B. Berbagai Pengertian Tentang Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat menurut Adimihardja
(1999 : xi) adalah :
tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat,
tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya,
terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan sebagai konsep
sosial budaya yang implementatif dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat, tidak
saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi nilai tambah
sosial budaya.
Dari
konstruksi pemikiran yang dikemukakan itu menunjukkan bahwa makna pemberdayaan
di era reformasi dan situasi krisis ekonomi pada saat ini lebih kuat diwarnai
perspektif politik dan ekonomi dari pada perpektif sosial dan budaya. Hal ini
dapat dilihat dari adanya usaha untuk memobilisasi masyarakat untuk
memanfaatkan sumber yang datang dari atas untuk kepentingan politik tertentu
dan mempertahankan keberhasilan pertumbuhan ekonomi, dengan kurang memberikan
peluang agar inisiatif tumbuh dari masyarakat atau menumbuh kembangkan perilaku
sosial masyarakat untuk di dukung melalui pengayaan orientasi, motivasi,
pengambilan keputusan sendiri oleh masyarakat, serta peningkatan aksesbilitas
masyarakat terhadap sumber kehidupan. Konsep Pemberdayaan Masyarakat menurut Tjokrowinoto
dan Pranarka (1996 : 56) bahwa :
harus ditempatkan tidak hanya secara individual akan
tetapi secara kolektif, dan semua itu harus menjadi bagian dari aktualisasi dan
koaktualisasi eksistensi manusia dan kemanusiaan. Dengan kata lain, manusia dan
kemanusiaanlah yang menjadi tolok ukur normatif, struktur dan substansial. Hal
ini menempatkan konsep Pemberdayaan sebagai bagian dari upaya membangun eksistensi
pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, pemerintahan, negara, dan tata dunia di
dalam kerangka proses aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab, yang
terwujud di berbagai kehidupan : politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan
sebagainya.
Dari
konsepsi tersebut menunjukkan bahwa dalam membangun masyarakat ke depan, maka
diperlukan suatu keseimbangan (keadilan) yang manusiawi antara kehidupan
politik, ekonomi, hukum dan kehidupan sosial budaya bagi setiap manusia atau
masyarakat. Keharusan ini menjadi sangat penting oleh karena
persoalan-persoalan sosial budaya, ekonomi dan politik termasuk persoalan hukum
akan menghadapi tantangan-tantangan yang cukup berat sebagai akibat dari
globalisasi, kemjuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak terbendung Weissglass
(1990 : 351) memberikan pengertian tentang pemberdayaan sebagai: "
a process of supporting people to construct new meanings and exercise their
freedom to chose ", artinya suatu proses yang membangkitkan masyarakat
untuk membangun makna dan menggunakan hak kebebasan menentukan pilihan yang
baru. Irwin (1995 : 82) mengemukakan :
" Empowering other people means giving them a
change to make their special contribution ... your contribution may be a particular insight,
a particular talent, a particular energy, aparticuular loving way to be with
people ", artinya upaya pemberdayaan itu berarti memberikan kepada
masyarakat peluang untuk melibatkan diri dengan hal-hal yang menyangkut paham,
bakat, kekuatan dan kesenangan masyarakat.
Dari
beberapa definsi tentang pemberdayaan masyarakat yang telah di kemukakan
diatas pada prinispnya adalah dalam rangka membangkitkan atau membangun
potensi-potensi yang ada pada masyarakat seperti : bakat, keterampilan,
kekuatan dan kesenangan.
C. Dimensi dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat
Dengan
tidak mengurangi makna pemberdayaan masyarakat yang sebenarnya, Penulis akan
mempergunakan definisi pemberdayaan masyarakat yang dikemukakan oleh Bryan
dan White (1989: 25) bahwa:
Pemberdayaan hendaknya di pahami sebagai suatu proses
meningkatkan kemampuan masyarakat sehingga mereka dapat memecahkan masalahnya
sendiri dengan cara memberikan kepada mereka kepercayaan untuk mengelola
program-program tertentu atas keputusannya sendiri.
Dari
definisi pemberdayaan yang dikemukakan oleh Bryan dan White tersebut mengandung
beberapa dimensi dalam pemberdayaan masyarakat yaitu : (l) proses meningkatkan
kemampuan masyarakat, (2) pemecahan masalah, (3) memberikan kepercayaan, (4) pengelolaan program, dan (5) membuat
keputusan sendiri yang secara tajam akan di jelaskan unsur-unsurnya,
ciri-cirinya dan
sifat-sifatnya sehingga menjadi jelas sebagai sebuah variabel.
Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu fenomena sosial yang merupakan kejadian
konkrit dan dapat di indera atau di amati.
Kemampuan
masyarakat harus dan mutlak perlu di tingkatkan, karena sumber daya manusia
merupakan energi yang sangat istimewa. Kemampuan menurut Robbins ( 2001
: 46) adalah :
suatu kapasitas individu untuk mengerjakan
berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Seluruh kemampuan seseorang pada
hakekatnya tersusun dari dua perangkat faktor, yaitu kemampuan intelektual dan
kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk
melakukan kegiatan mental, sedangkan kemampuan fisik adalah kemampuan yang
diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan,
kekuatan, dan keterampilan serupa.
Di harapkan, dengan meningkatnya kemampuan masyarakat baik secara
intelektual dan fisik, maka masyarakat akan memberikan kontribusi secara
maksimal terhadap penyelenggaraan Pemerintahan di daerah. Kemampuan intelektual
hanya akan dapat di capai apabila Pemerintah secara serius memperhatikan
masalah pendidikan, baik pendidikan formal, informal dan non formal. Selanjutnya
peningkatkan kemampuan secara fisik hanya akan dapat di capai apabila
Pemerintah secara serius memperhatikan kesehatan masyarakat dan kesehatan
lingkungannya. Dimensi kemampuan masyarakat bertalian erat dengan Partisipasi
masyarakat. Kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi merupakan tanda adanya
kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Mubyarto (1984 : 36) bahwa : kemampuan masyarakat untuk
berkembang secara mandiri berkorelasi positif dengan kemampuannya untuk
berpartisipasi dan juga kemampuannya untuk meningkatkan taraf hidup sendiri,
Konsepsi ini memberikan kejelasan bahwa hanya pada masyarakat yang memiliki
kemampuan, partisipasi itu dapat di wujudkan. Sehingga antara kemampuan
masyarakat dan partisipasi masyarakat ibarat dua sisi mata uang, tidak dapat di
pisahkan tetapi dapat dan perlu dibedakan. Demikian halnya Tilaar (1997
: 238) mengemukakan bahwa :
Suatu masyarakat yang berpartisipasi adalah
masyarakat yang mengetahui
potensi dan kemampuannya termasuk hambatan-hambatan karena keterbatasannya.
Masyarakat yang mampu berdiri sendiri adalah masyarakat yang mengetahui arah
hidup dan perkembangannya termasuk kemampuannya untuk berkomunikasi dan bekerja
sama dengan masyarakat lainnya bahkan pada tingkat regional dan internasional.
Menjadi jelas bahwa Partisipasi masyarakat
itu sangat ditentukan oleh
kemampuan masyarakat itu sendiri. Semakin tinggi tingkat kemampuan pemahaman
akan sesuatu yang diketahui masyarakat, maka diharapkan akan semakin tinggi
pula partisipasi masyarakat yang
bersangkutan dalam setiap kegiatan, program maupun proyek yang di laksanakan
dimana masyarakat itu berada. Menurut Soewardi
(1999 : 246) bahwa secara analitik, kemampuan untuk mengetahui itu dapat
diuraikan sebagai berikut:
1) Kemampuan kognitif, ialah kemampuan untuk mengetahui (dalam
arti kata yang lebih dalam berupa mengerti, memahami, menghayati) dan mengingat
apa yang diketahui itu. Landasan kognitif adalah rasio atau akal.
2)
Kemampuan afektif, ialah
kemampuan untuk merasakan tentang yang diketahuinya itu, ialah rasa cinta (love)
dan rasa indah (beuty).
3)
Kemampuan konatif, ialah
kemampuan untuk mencapai apa yang di rasakan itu. Konasi adalah will atau
karsa (= kemauan,
keinginan, hasrat) ialah daya dorong untuk mencapai (atau menjauhi) segala apa
yang didiktekan oleh rasa. Rasa-lah yang memutuskan apakah sesuatu itu di
cintai atau di benci, dinyatakan indah atau buruk dan menjadi sifat manusia
untuk menginginkan/mendekati yang di cintainya dan dinyatakan indah, dan
sebaliknya untuk membuang/menjauhi yang di bencinya dan yang dinyatakannya
buruk. Jadi, kekuatan manusia untuk bergerak mendekati/menjauhi di sebut
kemampuan konatif.
Kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat
dalam pembangunan desa menurut Ndraha (1987 : 107) bahwa : kemampuan
masyarakat untuk berkembang secara mandiri dapat ditumbuhkan melalui
intensifikasi dan ekstensifikasi partisipasi masyarakat dalam pembangunan
desanya. Selanjumya menurut Ndraha (1987 : 113) bahwa:
kemampuan untuk melaksanakan tugas adalah kemampuan
untuk mencapai keluaran yang telah ditetapkan atau hasil yang hendak di capai.
Kemampuan ini meliputi kemampuan untuk merencanakan usaha mencapai tujuan dan
kemampuan untuk melaksanakan rencana tersebut. Dalam kemampuan untuk
merencanakan usaha tersebut termasuk kemampuan untuk menggali, menggerakkan,
dan mengkombinasikan masukan-masukan dari lingkungan dan menyiapkannya bagi
sistem pelaksanaan tugas.
Apabila kemampuan masyarakat meningkat
sebagaimana dikemukakan itu, maka di harapkan masyarakat akan dapat memecahkan
masalahnya sendiri. Permasalahan yang di hadapai oleh masyarakat sangat beragam
yang menyangkut permasalahan
: pendidikan, kesehatan, pendapatan, meningkat ke permasalahan ekonomi, politik,
sosial, budaya dan sebagainya. Menurut Kuper
(2000 : 839) bahwa:
Pemecahan masalah (problem solving) adalah
fungsi utama dari pikiran dan telah lama di teliti oleh psikologi kognitif.
Secara umum, pikiran kemudian di anggap sebagai rangkaian proses manipulasi
simbol yang menggunakan ingatan yang bekerja sangat terbatas, dan di dukung
oleh ingatan jangka panjang yang ekstensif.
Masalah
atau permasalahan pada dasarnya merupakan kesenjangan antara harapan-harapan
masyarakat dengan kenyataan yang ada. Harapan-harapan masyarakat juga bersifat
kondisional, antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok yang lain
memiliki harapan-harapan yang berbeda-beda. Namun, secara umum dapat di
gambarkan bahwa harapan masyarakat adalah mendambakan suatu kehidupan yang
menempatkan mereka sebagai manusia yang memiliki martabat yang perlu di hargai
dan di berikan peranan dalam kehidupan sosial.
Permasalahan
masyarakat adalah permasalahan sosial, yang menurut Kuper (2000: 993)
bahwa : permasalahan sosial adalah sebagai kondisi yang tidak diinginkan, tidak
adil, berbahaya, ofensif dan dalam pengertian tertentu mengancam kehidupan
masyarakat. Dengan konsepsi permasalahan sosial yang dikemukakan itu
menunjukkan bahwa permasalahan masyarakat pada intinya adalah mengancam
kehidupan masyarakat itu sendiri, sehingga tidaklah beralasan sekiranya
permasalahan itu di intervensi secara jauh oleh Pemerintah dan mengabaikan
keterlibatan masyarakat yang memahami masalahnya sendiri. Sekiranya,
permasalahan masyarakat itu di kembalikan kepada masyarakat itu sendiri, di
mana masyarakat terlebih dahulu di bekali dengan kemampuan yang memadai (baik intelektualnya maupun
fisiknya), maka dapat di pastikan masyarakat itu sendiri akan dapat memecahkan
persoalan yang di hadapinya. Dimensi berikutnya yang memegang peranan kunci
dalam pemberdayaan masyarakat adalah memberikan kepercayaan masyarakat atau
dalam istilah manajemen dan organisasi disebut "delegation of
authority" yang menurut Saefullah
(2002 : 6-7) :
diartikan sebagai pendelegasian wewenang
kepada bawahan dan yang diberikan wewenang mempunyai kemampuan untuk
melaksanakannya. Konsekwensi ini adalah pihak yang diberi pelimpahan wewenang
akan berusaha sekuat tenaga untuk memperlihatkan kemampuannya serta keberanian
untuk mengambil inisiatif dan mengembangkan kreatifitasnya. Secara psikologis
ia mempunyai rasa percaya diri dan keberanian untuk bersikap.
Kepercayaan yang diberikan oleh Pemerintah
kepada masyarakat akan dapat menggali potensi-potensi, inisiatif dan
kreatifitas sehingga masyarakat dapat memberikan sikap dan tindakannya
(perilaku) yang sesuai dengan latar belakang historis kehidupan masyarakat
tersebut. Dalam kehidupan masyarakat yang latar belakang historisnya penuh
dengan dinamika perjuangan akan menerima setiap kebijakan yang dibuat
pemerintah dengan sikap kritis. Sebaliknya pada kehidupan masyarakat yang latar
belakang historisnya bersifat feodalistik akan menerima setiap kebijakan
pemerintah sebagai suatu keharusan yang tidak bisa di tolak. Apabila masyarakat
telah memperoleh kepercayaan, maka mereka akan mengelola program berdasarkan
kreativitas, inisitaif dan inovasi yang mereka miliki.
Dengan
demikian, apabila masyarakat telah memiliki kemampuan, dapat memecahkan masalahnya
sendiri, telah mendapatkan kepercayaan dari pemerintah dalam mengelola berbagai
program kegiatan, maka dapat dipastikan masyarakat tersebut sudah dapat
mengambil keputusan sendiri sesuai keinginan dan kebutuhan serta berbagai
permasalahan yang di hadapinya tanpa terus bergantung kepada pemerintah.
Menurut Hardjito (1994 : 94-96) bahwa :
pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan merupakan kejadian yang dialami oleh setiap orang dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam manajemen modern, pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan menjadi semakin penting dan merupakan kebutuhan mutlak bagi
seseoarang atau masyarakat. Menguasai kemampuan memecahkan masalah dan
pengambilan keputusan diperlukan suatu pola pikir tertentu dan teknik-teknik
yang merupakan prasyarat yang harus di pahami. Selain itu juga di tuntut
kemampuan analisis yang tangguh, karena salah dalam mengambil keputusan
akan berakibat fatal bagi keberhasilan organisasi.
Dalam mengambil keputusan, diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang
benar tentang suatu masalah. Dalam kegiatan penemuan masalah mengacu kepada
proses pengidentifikasian masalah untuk mendapatkan masalahnya secara jelas,
sebelum melangkah kepada cara pemecahannya. Dalam kegiatan penemuan masalah
tersebut akan menyangkut penentuan keberadaannya dan pentingnya masalah.
Kegiatan pemecahan masalah dimulai dengan pendiagnosaan masalah untuk menemukan
sebab sebenarnya. Kegiatan ini di lanjutkan dengan membuat alternatif pemecahan
masalah. Setelah alternatif pemecahan masalah di lakukan, dilanjutkan dengan
melakukan evaluasi dan pemilihan alternatif. Kegiatan ini di lanjutkan dengan
pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan merupakan pengambilan keputusan
formal, yakni bagaimana masyarakat secara sistematik mengusahakan tercapainya
keputusan yang sehat dan masuk akal yang dapat dikatakan sebagai keputusan yang
mantap.
B. Penutup
Dalam kesempatan ini
Penulis lebih merujuk kepada Konsep pemberdayaan masyarakat sesuai dengan
pendapat Bryan dan White (1989: 25) bahwa:
Pemberdayaan hendaknya di pahami sebagai suatu proses
meningkatkan kemampuan masyarakat sehingga mereka dapat memecahkan masalahnya
sendiri dengan cara memberikan kepada mereka kepercayaan untuk mengelola
program-program tertentu atas keputusannya sendiri.
Dari definisi pemberdayaan yang dikemukakan oleh Bryan dan White
tersebut mengandung beberapa dimensi dalam pemberdayaan masyarakat yaitu : (l)
proses meningkatkan kemampuan masyarakat, (2) pemecahan masalah, (3) memberikan
kepercayaan,
(4) pengelolaan program, dan (5)
membuat keputusan sendiri.
Untuk lebih konkritnya maka dapat
dilihat pada table operasionalisasi pemberdayaan masyarakat yaitu:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar